Oleh Abdul Ghofur
KENDALMU.OR.ID. BAGI sebagian orang, secangkir kopi pahit adalah pelengkap pagi yang sempurna. Tanpa gula, tanpa krimer, tanpa basa-basi. Ia datang apa adanya, menghadirkan rasa yang keras, getir, dan sering kali menusuk lidah. Tapi justru di situlah kenikmatannya. Pahitnya kopi seperti menyentil: bahwa tidak semua hal dalam hidup harus manis untuk bisa dinikmati.
Kopi pahit adalah cermin kejujuran. Ia tidak berpura-pura. Ia tidak berusaha menyenangkan siapa pun. Dalam dunia yang sibuk menyembunyikan luka di balik senyum, kopi pahit mengajarkan kita satu hal: menerima apa adanya. Bukan hanya tentang cita rasa, tapi tentang hidup itu sendiri.
Kita hidup di zaman yang penuh ilusi. Media sosial menampilkan potret kebahagiaan palsu, gaya hidup yang dibungkus prestise, dan senyum yang hanya untuk layar. Dalam pusaran itu, kita terkadang lupa bahwa hidup sejatinya bukan hanya tentang pencapaian, pesta, dan pujian. Ada rasa gagal, ada kecewa, ada kehilangan yang tidak bisa dihindari. Di sinilah kopi pahit mengambil perannya: membumi kita kembali.
Saya sering mendapati obrolan paling jujur justru lahir di atas meja kecil, dengan secangkir kopi pahit sebagai teman. Di sana orang berbicara tanpa topeng. Tentang rumah yang tak harmonis, gaji yang tak cukup, atau impian yang tak kunjung terwujud. Pahitnya kopi seolah menjadi medium untuk membuka hati. Mengakui bahwa hidup ini tak selalu menang, tak selalu lurus, tak selalu sesuai rencana.
Namun, bukankah justru di situlah kita belajar bertumbuh?
Kopi pahit bukan sekadar minuman, ia adalah simbol keberanian. Keberanian untuk menelan kenyataan. Ia mengajarkan kita bahwa tak apa merasa getir. Tak apa gagal. Tak apa kecewa. Yang penting, kita terus hidup, terus berjalan, terus menyeduh hari meski tidak manis. Karena seperti kopi, hidup tidak selalu harus manis untuk bisa membuat kita terjaga.
Pahit juga bisa membentuk karakter. Di dunia kerja, dalam hubungan, atau dalam perjuangan apa pun, mereka yang mampu bertahan bukanlah yang selalu dikelilingi kemudahan, tapi justru mereka yang pernah merasakan getir, menelan kepahitan, dan tetap berdiri. Mereka yang mampu menemukan makna di balik rasa tak menyenangkan.
Dan menariknya, kopi pahit justru punya penggemar setia. Orang-orang yang telah berdamai dengan rasa getir, yang tidak lagi mengejar sensasi manis semu, tapi mencari kedalaman rasa. Mereka ini bukan pecinta gula, tapi pecinta makna. Mereka paham bahwa pahit bukan musuh, melainkan bagian dari keutuhan rasa hidup.
Di balik secangkir kopi pahit, ada filosofi kesederhanaan. Kita tak butuh banyak tambahan untuk menikmati hidup. Terkadang, yang paling kita butuhkan hanyalah momen untuk diam sejenak, merenung, dan menyadari bahwa apa yang kita hadapi hari ini—meski tidak sempurna—adalah bagian dari proses menjadi utuh.
Maka, jika hari ini hidup terasa pahit, mungkin itu bukan sesuatu yang harus segera dihindari. Mungkin itu adalah fase di mana kita diajak belajar. Belajar sabar, belajar kuat, belajar menerima. Seperti halnya secangkir kopi pahit—yang justru menghangatkan, bukan meski pahit, tapi karena ia pahit.
Ngampel, 9 Mei 2025, 23.36