PATEAN. KENDALMU.OR.ID. Ketua Korp Mubaligh Muhammadiyah (KMM) Jateng, Ustadz Aang Kunaepi memberi panduan kesuksesan rohani setelah Ramadan berakhir dalam rangka menuju muslim berkemajuan.
Muslim berkemajuan, kata Ustadz Aang, adalah mereka yang memiliki semangat pembaruan (tajdid) dan perbaikan diri yang ditegakkan selama Ramadan.
“Mereka yang selalu kembali mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadan usai,” katanya, Ahad (20/4/2025) di aula Ponpes Muhammadiyah Darul Arqam Patean.
Ustadz Aang Kunaepi yang juga Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang menyampaikan alur spiritual dan moral yang sangat penting dalam Islam.
“Iman, Islam dan Taqwa adalah alur dan menjadi dasar dari pembentukan karakter seorang muslim berkemajuan, terutama dalam konteks penguatan nilai-nilai Ramadan,” ujarnya.
Menjadi muslim berkemajuan, lanjutnya dimulai dari keyakinan, keimanan yang benar dan kuat.
“Menjadi Muslim berkemajuan diawali dengan keyakinan, bahwa perubahan diri dan masyarakat yang dicita-citakan harus dimulai dari dasar iman yang benar, kuat, dan diterjemahkan dalam amal yang nyata dan solutif,” terangnya.
Dalam berMuhammadiyah, kata Ustadz Aang harus istiqomah dalam berdakwah dan bukan menjalankan amanah hanya saat untung, dan ketika diuji justru menghindar.
“BerMuhammadiyah itu tidak mencari keberuntungan, dan merasa tidak siap ketika mendapat ujian. Orang Muhammadiyah bukan hanya bersedia menjadi bagian dari struktur AUM yang sedang menghasilkan keberuntungan, dan menghindar saat diuji oleh Allah,” terangnya mengutip sindiran Allah dalam Al qur’an Surat Al Hajj Ayat 11 dan Surat Al Fajr ayat 15-17 :
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ
Artinya: ‘Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata’
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ . كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Artinya : “Maka, adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya, dan memberinya kesenangan, maka ia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Dan apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, ‘Tuhanku menghinaku’. Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.”
Lebih lanjut Ustadz Aang menyampaikan proses transformasi karakter dalam perspektif Muhammadiyah yang bisa dilihat sebagai sebuah tahapan pembentukan manusia Muslim berkemajuan dan tidak hanya dilihat dari sisi ideologis, tetapi juga secara psikologis, sosial, dan praksis dakwah.
“Muhammadiyah sangat menekankan pentingnya pembentukan karakter umat yang kokoh, modern, dan berorientasi amal nyata,” tegas Ustadz Aang Kunaepi juga Motivation and Personality Development Trainer
Proses trasformasi karakter Muhammadiyah memulai segalanya dari pola pikir tauhid, melihat segala aspek hidup sebagai ibadah dan amanah. Pola pikir ilmiah dan rasional menggunakan akal sehat dan ilmu untuk memahami agama dan pola pikir progresif, berpikir ke depan, kreatif, solutif, dan memberdayakan.
Menurut Ustadz Aang, pembentukan karakter Muhammadiyah sangat erat kaitannya dengan pengembangan nilai-nilai keislaman yang menyatu antara akidah, akhlak, dan amal sosial. Salah satu pendekatan penting adalah pembentukan karakter melalui nilai-nilai akhlak Rasulullah SAW, yakni, Fathonah, Shidiq, Amanah, dan Tabligh.
“Muhammadiyah dalam memahami agama secara rasional dan mencerahkan. Fathonah sebagai olah pikir karakter Muhammadiyah menunjukkan bahwa beragama Islam itu dengan logika, bukan taklid buta,” jelasnya.
“Muhammadiyah harus cerdas dalam membaca zaman dan menjawab tantangan,” tegasnya.
Selanjutnya, karakter Muhammadiyah adalah shidiq (jujur, benar, dan dipercaya) sebagai landasan moral utama yang membentuk kepribadian anggotanya sebagai muslim yang lurus, konsisten, dan terpercaya dalam kata dan perbuatan.
“Shidiq adalah sifat Nabi Muhammad Salla Allahu Allaihi Wassalam yang pertama, dan menjadi fondasi dalam membangun karakter personal, sosial, dan organisasi Muhammadiyah,” ungkapnya.
Karakter tabligh dalam Muhammadiyah bermakna kemampuan dan kesungguhan dalam menyampaikan kebenaran, terutama ajaran Islam, kepada masyarakat secara jujur, terbuka, santun, dan penuh tanggung jawab.
“Muhammadiyah konsisten dalam menyampaikan nilai Islam di ruang publik dengan cara yang mencerahkan, membangun, dan membebaskan, dan karakter tabligh bukan hanya bicara, tapi menjadi jalan cahaya bagi sesama dalam seluruh aspek dakwah dan amal Muhammadiyah,” tegasnya.
Sedangkan sifat amanah sebagai karakter Muhammadiyah berarti bersikap tanggung jawab, dapat dipercaya, dan konsisten dalam menjalankan tugas serta memegang kepercayaan, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun kelembagaan.
“Amanah adalah salah satu sifat Rasulullah yang menjadi teladan utama bagi gerakan Muhammadiyah dalam membentuk muslim yang profesional, berintegritas, dan berdedikasi,” tegasnya lagi.