Istilah “pesta demokrasi” sering digunakan untuk menggambarkan pemilu/pilkada sebagai momentum perayaan kebebasan memilih pemimpin oleh rakyat. Namun, disaat yang sama, muncul istilah “pesta angpao” merujuk pada fenomena negatif yang terjadi selama masa pemilihan, di mana politik uang atau pemberian hadiah (sering kali berupa uang) menjadi dominan. Ini adalah penyimpangan dari makna asli demokrasi yang seharusnya murni, jujur, dan adil. Fenomena “pesta angpao” ini sering terjadi ketika calon kepala daerah atau partai politik menggunakan uang atau barang untuk “membeli” suara pemilih, dengan harapan mendapatkan dukungan politik. Hal ini merusak esensi demokrasi dan menurunkan kualitas pemimpin yang terpilih, karena mereka lebih fokus pada imbalan materi daripada menawarkan program yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Meskipun bantuan ini mungkin terlihat positif, tindakan tersebut biasanya bersifat manipulatif dan melanggar aturan pemilu. Fenomena calon Kepala Daerah “membeli” suara merupakan bentuk politik uang (money politics), yang merupakan pelanggaran serius dalam proses demokrasi. Di Indonesia, politik uang dilarang oleh undang-undang, khususnya oleh UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pelanggaran ini dapat merusak integritas pemilihan dan mengganggu prinsip demokrasi yang jujur dan adil. Jika seorang calon kepala daerah terbukti melakukan pembelian suara, sanksi yang dikenakan tidak main-main, bisa berupa diskualifikasi dari pencalonan dan bahkan pidana dengan ancaman hukuman penjara dan/atau denda.
Politik uang bisajadi akan memupuk perilaku hipokrit dalam masyarakat. Praktik ini menciptakan dinamika di mana masyarakat menerima uang atau bantuan dari kandidat tertentu, tetapi seringkali tidak berdasarkan keyakinan atau dukungan tulus terhadap calon tersebut. Beberapa dampak dari money politics yang memupuk perilaku hipokrit di masyarakat antara lain: 1. Memanipulasi pilihan, dimana masyarakat mungkin menerima uang atau hadiah dari calon, namun sebenarnya mereka tidak mendukung kebijakan atau program calon tersebut. Ini menciptakan perilaku ganda, di mana mereka tampak mendukung secara luar, namun tidak secara jujur berdasarkan pilihan dengan sadar. 2. Merusak integritas proses demokrasi, dimana pemberian uang dapat menyebabkan masyarakat mengabaikan kualitas dan rekam jejak calon, sehingga pemilihan tidak lagi didasarkan pada penilaian kritis atau program yang baik, tetapi pada imbalan materi. 3. Menguatkan ketergantungan, yang mana masyarakat bisa menjadi terbiasa dengan bantuan instan selama musim pemilu, tetapi mengabaikan kebutuhan untuk memperjuangkan perubahan struktural yang lebih besar. 4. Menormalisasi ketidakjujuran, yakni ketika politik uang menjadi praktik umum, ketidakjujuran dalam proses pemilu menjadi semakin diterima. Masyarakat mungkin berpura-pura mendukung calon tertentu untuk menerima uang, sementara pada kenyataannya, mereka memilih kandidat lain atau bahkan tidak memiliki kepercayaan pada proses pemilu. Dengan demikian, politik uang akan menggagalkan partisipasi politik yang jujur, bebas, dan rasional.
Kemiskinan memegang peranan penting pada terjadinya politik uang. Masyarakat miskin dan berpendidikan rendah, tidak diragukan lagi, telah menjadi “kantong suara” dalam pemilihan umum atau pilkada. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, antara lain adanya kerentanan terhadap politik uang dimana masyarakat dengan kondisi ekonomi sulit cenderung lebih rentan terhadap iming-iming materi seperti uang, sembako, atau bantuan lainnya. Calon yang tidak jujur sering memanfaatkan kondisi ini dengan memberikan bantuan dadakan untuk memengaruhi suara. Kurangnya akses informasi juga menjadi penyebab, dimana masyarakat berpendidikan rendah mungkin memiliki akses yang terbatas terhadap informasi politik yang obyektif dan kritis. Akibatnya, mereka lebih mudah terpengaruh oleh kampanye manipulatif atau janji-janji politik yang tidak realistis. Masyarakat miskin juga harus mengalami ketergantungan pada janji populis: calon yang menawarkan program populis (seperti bantuan langsung atau janji pekerjaan) sering menarik perhatian masyarakat miskin. Janji-janji tersebut kadang lebih diterima dibandingkan dengan rencana pembangunan jangka panjang yang sulit dipahami atau dirasakan langsung oleh masyarakat dengan keterbatasan pendidikan.
Oleh: Suprapto, bekerja di Lazis Muhammadiyah Kendal
Referensi: berbagai sumber