Oleh Bagas Chairil Anwar*)
KENDALMU.OR.ID. SETIAP Ahad pagi, sejak tahun 1992, pendopo Kecamatan Weleri menjadi saksi bisu dari sebuah gerakan dakwah yang sederhana namun penuh makna. Kajian Ahad Pagi yang digagas oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Weleri bukan sekadar agenda rutin mingguan, melainkan ruh gerakan yang telah membentuk karakter umat, menguatkan jaringan persaudaraan, dan memperkuat pilar-pilar dakwah Muhammadiyah di tingkat akar rumput.
Dengan konsistensi yang luar biasa, kajian ini telah hadir tanpa henti hingga hari ini. Ia menjadi ruang bertemunya pimpinan, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah untuk memperdalam pemahaman keislaman dan kemuhammadiyahan, sekaligus menjalin silaturahim, membangun sinergi, dan memperkuat konsolidasi organisasi.
Penulis tidak mengetahui secara pasti mengapa hari Minggu pagi yang dipilih sebagai waktu pelaksanaan. Mungkin ada berbagai alasan, baik teologis maupun sosiologis. Bisa jadi, waktu ini dipilih untuk mengimbangi dinamika masyarakat lintas agama yang juga aktif di hari yang sama. Namun, jika dilihat dari aspek antropologis, masyarakat Muhammadiyah Weleri banyak berasal dari kalangan pedagang pasar, petani, dan pegawai—mereka yang pada hari-hari lain disibukkan oleh pekerjaan. Maka Ahad pagi menjadi waktu yang paling memungkinkan untuk berkumpul, sebelum aktivitas keluarga dan kegiatan lainnya mulai berlangsung.
Bukan hanya soal waktu dan tempat, kekuatan utama dari Kajian Ahad Pagi terletak pada substansi materinya. Para panitia secara konsisten menghadirkan mubaligh-mubaligh yang kompeten dan mumpuni, membahas tema-tema keislaman klasik maupun isu-isu kontemporer. Di sinilah umat mendapat asupan ruhani, memperbarui niat dan tekad dalam menjalani kehidupan sebagai muslim yang berkemajuan.
Lebih dari itu, kajian ini telah menjadi simpul sosial dan ekonomi. Para pedagang kecil yang membuka lapak di sekitar lokasi pengajian merasakan berkah tersendiri. Aktivitas ekonomi tumbuh seiring dengan semangat keagamaan yang menyala. Bahkan, dana dari infaq jamaah yang terkumpul pernah menjadi salah satu penopang penting pembangunan RSI Muhammadiyah Kendal, PAY Muhammadiyah Putra, PAY Muhammadiyah Putri, membantu jamaah yang membutuhkan biaya pengobatan, menggaji guru-guru AUM, serta mendukung berbagai kegiatan dakwah lainnya. Semua bergerak, semua bergembira.
Namun demikian, seperti banyak fenomena sosial lainnya, kajian ini pun mulai menghadapi tantangan. Beberapa tahun terakhir, jumlah jamaah cenderung menurun, terlebih dari kalangan muda. Waktu Minggu pagi yang dahulu menjadi ruang spiritual kini perlahan mulai bergeser fungsinya digantikan oleh istirahat panjang, hiburan digital, atau bahkan hanya sekadar waktu luang tanpa arah.
Padahal, sejarah mencatat bahwa kajian ini dahulu banyak digerakkan oleh anak-anak muda. Salah satu tokoh sentralnya, Mbah Muslim, menjabat sebagai Ketua PCM di usia 35 tahun usia yang sangat muda untuk ukuran pimpinan organisasi keagamaan. Semangat itu kini seolah menurun, bukan karena zaman yang berubah, tetapi karena gerakan itu sendiri yang mulai kehilangan daya dorongnya.
Gerakan yang Harus Dihidupkan Kembali
Mbah Muslim pernah berpesan,“Umat itu harus digerakkan. Harus ada yang menggerakkan. Jika tidak tidak ada yang menggerakan, Sudah barang tentu mereka akan diam. Kitalah penggeraknya. Maka jangan sekali-kali berhenti bergerak. Berhenti bergerak berarti mati.”
Petuah ini sangat relevan untuk situasi hari ini. Mungkin berkurangnya jamaah adalah cerminan dari melemahnya gerakan kita. Dulu, jamaah digerakkan oleh keluarga dan lingkungan. Seorang ayah mengajak anak-anaknya, guru mengajak muridnya, pimpinan AUM menggerakkan karyawannya, dan begitu seterusnya.
Gerakan jamaah dan dakwah jamaah terasa hidup karena digerakkan dari semua lini.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih menjadi bagian dari gerakan itu, atau justru menjadi bagian dari mereka yang diam?
Menata Niat, Menyuburkan Amal
Penurunan semangat dakwah hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi kita semua. Kita perlu bertanya kembali: untuk apa dan untuk siapa kita bermuhammadiyah dan berislam? Apakah semata untuk eksistensi organisasi atau benar-benar karena mencari ridha Allah? Sebagaimana dikatakan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam film “PKO”:
ما كان لله ينمو، وما كان لغير الله ينهدم”
“Sesuatu yang dilakukan karena Allah, maka ia akan tumbuh dan berkembang. Dan sesuatu yang tidak diniatkan karena Allah, niscaya akan hancur dan binasa.”
Maka mungkin, keberlangsungan Kajian Ahad Pagi hingga hari ini adalah berkah dari niat tulus para pendahulu kita. Niat yang lurus akan melahirkan amal yang ikhlas, dan amal yang ikhlas akan menghidupkan umat.
Kajian Ahad Pagi bukan sekadar agenda dakwah. Ia adalah warisan gerakan. Ia adalah buah dari kerja kolektif, doa yang tak henti dipanjatkan, dan semangat yang menyala dari generasi ke generasi. Sudah sepatutnya kita menjaga dan melanjutkannya, bukan sekadar hadir sebagai jamaah, tetapi menjadi bagian dari ruh penggeraknya.
Mari kita jaga nyala api ini. Mari kita gerakkan kembali keluarga kita, lingkungan kita, dan diri kita sendiri untuk menyambut Ahad pagi dengan niat ibadah. Bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai upaya menjaga denyut dakwah Muhammadiyah di tengah masyarakat. Karena dakwah bukan hanya tugas para ustaz dan pimpinan, tetapi amanah setiap muslim yang ingin hidup dalam keridhaan-Nya.
Bagas Chairil Anwar
(Jamaah Ahad Pengajian Ahad Pagi yang Jarang Brangkat)