KENDAL.KENDALMU.OR.ID. Hari raya Idul Fitri, merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri, yaitu menjadi manusia yang bertakwa. Kata Id berasal dari akar kata ‘aada – yauudu yang artinya kembali, sedangkan fitri bisa berarti buka puasa untuk makan dan juga bisa berarti suci.
Adapun fitri yang berarti buka puasa berdasarkan akar kata ifthar (sighat mashdar dari afthara – yufthiru) dan berdasar hadis Rasulullah SAW:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad SAW. Pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.
Dengan demikian, makna Idul Fitri adalah hari dimana umat Islam pada hari ini, kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Oleh karena itu kita disunahkan makan dan minum walau sedikit, sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri. Ini untuk menunjukkan bahwa hari raya Idul Fitri 1 syawal adalah hari diharamkan puasa.
Demikian salah satu uraian khutbah Idul Fitri 1446 H yang disampaikan oleh anggota Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jateng, Ibnu Sholeh, Senin (31/3/2025) di Halaman Parkir Stadion Utama Kebondalem, Kendal

Dia melanjutkan, kata Fitri yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, keburukan berdasarkan dari akar kata fathoro-yafthiru dan dalam hadis Rasulullah SAW mengatakan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alayh).
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alaih)

Ustadz Sholeh menjelaskan, bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).
“Maka yang dimaksud dengan Idul Fitri dalam konteks ini berberarti kita kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar,” tegasnya di hadapan ribuan jamaah.
Menurutnya, bagi ummat Islam yang telah lulus melaksanakan Ibadah puasa di bulan Ramadhan akan diampuni dosanya hingga menjadi suci seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim Ibunya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci [sesuai fitrohnya]
Die meminta hari raya Idul Fitri hendaknya dimaknai secara positif seperti menjalin silaturrahmi sebagai sarana membebaskan diri dari dosa yang bertautan antar sesama manusia.
“Silaturahim tidak hanya berbentuk pertemuan formal seperti Halal bi Halal saja, namun juga bisa dengan cara bercengkerama, saling mengenalkan dan mengikat kerabat,” ujarnya mengutip sebuah hadits Rasulullah
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR.Daud,Tirmidzi&Ibnu Majah)
Di bagian lain Ibu Sholeh yang juga dosen Universitas Pekalongan menyampaikan banyak pelajaran, hikmah, dan faidah yang kita dapatkan selama bulan Ramadhan.
“Sekalipun bulan Ramadhan telah berlalu, namun ada satu hal yang tidak boleh ikut berlalu meninggalkan kita, yaitu spirit Ramadhan, sehingga 1 Syawal ini, harus menjadi imtidad, proses awal untuk terus melanjutkan semangat amaliyah -amaliyah Ramadhan yang telah kita lakukan,” bebernya.

Menurutnya, kata syawal itu sendiri artinya peningkatan dan terus meningkat. Inilah yang harus mengisi hari-hari kaum muslimin, selama sebelas bulan ke depan dalam perjalanan hidup kita. Yaitu semua kebaikan kita, harus terus meningkat baik kuantitas maupun kulaitasnya
Adapun hikmah Idul Fitri kata Ustadz Sholeh yaitu manusia kembali kepada fitrahnya, yaitu menjadi manusia – manusia yang bertakwa kepada Allah Ta’ala yang ditandai dengan tetap istiqomah memegang agama tauhid yaitu Islam.
“Ia akan tetap berkeyakinan bahwa Allah itu maha Esa dan hanya kepadanya kita memohon. Ia akan selalu berbuat dan berkata yang benar, walau kaana murron meskipun perkataan itu pahit dalam kehidupannya. Ia akan tetap menjadi abid, yaitu hamba Allah yang selalu taat dan patuh kepada perintah-Nya sekalipun pasca Ramadhan. Ia akan lebih baik menjaga hubungannya dengan sesama makhluk dan kholik-Nya, dan ia akan lebih baik kepekaan dan kepedulian sosialnya,” tegasnya membeberkan.
Namun sebaliknya, bila tanda tanda tersebut tidak tampak pada diri seorang muslim sejak hari ini, dan hari-hari berikutnya, itu berarti proses pelatihan dan pendidikan pada madrasah Ramadhan yang telah diikutinya masih jauh dari harapan untuk menjadi manusia yang bertakwa, dan belum mampu mengembalikannya kepada fitrah jati diri sebagai manusia yang sesungguhnya.

“Mereka rugi, ketika Ramadhan telah usai, akan tetapi tidak mendapat ampunan dari Allah Ta’ala. Rugilah mereka, ketika Ramadhan telah berlalu tapi tidak dapat meraih tujuan puasanya. Rugi dan menyesalah mereka yang tidak memanfaatkan kehadiran Ramadhan dengan sebaik-baiknya,” kata Ustadz Sholeh.
Mereka menyesal karena Ramadhan berlalu begitu saja, Ramadhan berlalu begitu cepat, Ramadhan berlalu dan mereka tidak mendapatkan kebaikan kebaikan didalamnya. Sementara mereka membutuhkan waktu sebelas bulan kedepan untuk dapat bertemu Ramadhan kembali. Ya Allah semoga mereka dan kita semua masih mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya.
Di bagan akhir Ustadz Ibnu Sholeh berharap, semoga masih lebih banyak penduduk negeri ini yang mendapat pengaruh positif setelah berpuasa Ramadhan, sehingga penduduk negeri ini banyak yang kembali kepada fitrahnya dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sehingga cita-cita negara kita, menjadi Negara yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi, Gemah merenah tur tuma’ninah dibawah ridha Allah SWT atau dengan istilah baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur dapat terwujud. Amin Ya Robbal Alamin
Allah berfirman dalam Surat Al A’raf ayat 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (al-a’raf:96)
Dia mengajak kepada seluruh jamaah, dalam kesempatan berlebaran ini, kita satukan niat, satukan tekad dengan tulus dan Ikhlas, untuk menghilangkan rasa benci, dengki, iri hati, dendam, sombong dan selalu membanggakan diri.
“Kita ganti semua itu, dengan kasih sayang dan persaudaraan. Dengan hati terbuka, wajah berseri, ulurkan tangan untuk saling bermaaf-maafan. Buka lembaran baru, dan tutup lembaran lama yang banyak kotoran dan noda seraya mengucapkan,” pungkasnya. (fur)