JAKARTA.KENDALMU.OR.ID. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Ma’mun Murod Al Barbasy menuturkan tema Pengkajian Ramadan 1445 H berangkat dari dua kegelisahan.
Pertama adalah kegelisahan politik, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Muhammadiyah perlu memperbanyak ‘jumlah kepala’. Sebab selama ini Muhammadiyah terlalu fokus pada isi kepala.
Kedua adalah kegelisahan sosiologis, di mana menurut salah satu lembaga survei yang menemukan data jumlah warga terafiliasi Muhammadiyah hanya 5,7 persen, lebih kecil dibandingkan dengan organisasi Islam mapan lain.
“Dua kegelisahan itu untuk menjawab bagaimana melakukan perluasan basis di akar rumput, maka jawaban yang dinilai tepat adalah dengan penguatan dakwah kultural,” kata Ma’mun pada Selasa (19/3) dalam Pengkajian Ramadan 1445 H di UMJ.
Secara substansi, dakwah kultural dimaksudkan untuk melakukan dua hal. Pertama melakukan dinamisasi, yaitu sebagai reaksi dari budaya yang memiliki kecenderungan untuk berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam konteks itu, berlaku kaidah fikih “melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Kaidah fikih ini bukan milik kelompok tertentu, sebab sudah ada jauh sebelum adanya organisasi Islam modern.
Substansi kedua dari dakwah kultural adalah purifikasi atau melakukan pemurnian nilai-nilai tauhid.
Bahkan menurut Ma’mun, dalam konteks historis dan sosiologis, dakwah kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah memiliki sanad sampai Rasulullah Muhammad.
“Termasuk penamaan iduladha, idulfitri juga berasal dari tradisi Quraisy lama, Arab pra Islam, kemudian dimodifikasi oleh Rasulullah, tentu nilai yang masuk berbeda dengan era sebelumnya,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, tradisi juga bisa dijadikan sebagai dasar hukum yang dalam Ushul Fikih disebut dengan istilah Al Urf. Kenyataan itu menunjukkan bahwa tradisi juga diakomodasi oleh fikih.
Maka ketika mereaktualisasi dakwah kultural tidak perlu canggung, sebab konsep dakwah ini memiliki sanad yang jelas. Selain itu, dakwah kultural telah melekat dengan Muhammadiyah sejak awal berdirinya.
Ma’mun juga menjelaskan, di masa awal Muhammadiyah gerak dakwahnya begitu cair. Model dakwah seperti itu menjadikan Muhammadiyah diterima di banyak tempat di Indonesia sejak tahun 1920-an.