NGAMPEL. KENDALMU.OR.ID. Bekerja dengan cara-cara yang baik dan benar menurut Islam merupakan ikhtiar manusia untuk memperoleh rizki dari Allah dalam rangka memenuhi hajat hidup seseorang.
Bekerja dianggap sebagai ibadah karena merupakan usaha mencari rezeki halal untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagai bentuk ketakwaan, pengabdian kepada Allah SWT.
Hal di atas merupakan pengantar pengajian Ahad Pagi Al Ikhlas, (16/2/2025) yang disampaikan oleh Ustadz Adi Ismanto di aula Kec. Ngampel.
Lantas bagaimana etika seorang muslim dalam dunia pekerjaan ? Berikut penjelasannya.
Bekerja di sebuah tempat dengan pekerjaan yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam belum cukup disebut ibadah apabila tidak diniati karena Allah. Niat yang ikhlas semata karena Allah dan ridhoNya dalam menunaikan pekerjaannya baru bisa disebut ibadah.
“Mau berangkat bekerja baca bismillah, mau bertani baca bismillah, buka warung baca bismillah, mendoakan suami pergi bekerjaan juga ibadah, karena semua amal baik jadi amal sholeh,” kata Ustadz Adi.
“Sebaliknya, seperti ibu-ibu mau puasa karena niatnya ingin diet bukan karena Allah atau tidak pernah shodaqoh tiba-tiba memanggil anak yatim untuk bershodaqoh ternyata mau mencalonkan diri jadi pejabat, maka hanya akan memperoleh apa yang diinginkan, tetapi tidak mendapat pahala dari Allah,” imbuhnya.
“Bekerja yang diawali dengan niat karena Allah merupakan ibadah akan mendapatkan padahal, dan pahala itu akan membawa kita ke surga, maka jangan malas-malas dalam bekerja,” tegasnya.
Ustadz Adi Ismanto kembali bertanya, bagaimana kalau tidur pada waktu bekerja ?
“Orang yang tidur di waktu bekerja disebut dholim, tidak menempatkan diri kapan ia istirahat dan kapan harus bekerja, karena setiap instansi pasti memberi waktu istirahat bagi seluruh pegawainya,” ujarnya.
“Sebaliknya, orang yang bekerja dengan baik, tempat dan jenis pekerjaannya juga baik, maka pekerjaannya tersebut sebagai penghindar dari api neraka,” katanya mengungkap sebuah riwayat dikemukakan, “Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu?’ Saad menjawab, ‘Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku.” Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, ‘Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka.’” (HR. Tabrani).

Dalam Islam bekerja adalah sebuah kewajiban seorang hamba kepada Allah, maka ia menjadi bagian dari ibadah. Karena bekerja adalah bagian dari ibadah, maka ia memerlukan aturan sehingga melahirkan etika bekerja yang baik dan benar menurut Allah dan Rasul-Nya.
“Seorang muslim bekerja bukan sekedar bekerja, beramal bukan sekedar beramal. Di sana ada etika dan norma ilahiyah yang harus ditaati. Mengapa? Agar bekerja itu punya nilai tambah, bukan semata mendapatkan keuntungan materi,” tegasnya lagi.
Dia melanjutkan, bekerjalah dengan tekun dan sungguh-sungguh, karena esensi bekerja adalah bagaimana kita menjalankan hak dan kewajiban dengan tekun dan penuh semangat bekerja.
“Bekerja dengan sungguh-sungguh disukai oleh Allah” katanya mengutip hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (menyempurnakan) pekerjaannya. “ (HR. Thabrani), dan sebuah ungkapan, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi”.
Menurut Ustadz Adi Ismanto, Islam mendorong umatnya untuk bekerja agar menjadi manusia mulia mandiri serta tidak membebani orang lain sesuai hadist Rasulluah SAW.
“Orang-orang Muslim harus bisa mandiri, karena kemandirian sangat dicintai Allah” ujarnya mengutip hadits Nabi, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah” (HR.Muslim).
Diingatkan, harta yang baik adalah hasil jerih payah sendiri, karena harta bisa saja didapat dari orang tua, kerabat, kakek nenek atau mungkin dari hasil warisan keluarga.
Ad Ismanto mengingatkan, maka harta yang diperoleh dengan jerih payah tidak digunakan semuanya untuk diri sendiri, melainkan sebagian hak milik fakir miskin, maka zakatlah, shodaqohlah, dan Allah akan menggantinya lebih banyak lagi.
“Orang yang sebagian zakatnya dishodaqohkan pada hakekatnya tidak berkurang, justru Allah akan melipatgandakan,” kata Ustadz Adi mengutip Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 261 :
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya, “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah 261)
Di sisi lain Ustadz Adi Ismanto juga menyebut bahwa bekerja termasuk jihad fisabilillah.
“Bekerja dengan niat karena Allah, bersungguh-sungguh, giat dalam bekerja dinilai oleh Allah sebagai jihad fi sabilillah,” katanya menguti hadits Nabi ddari Ka’ab bin Umar berkata, “Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulluah SAW orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata ,” Ya Rasulullah, apakah bekerja seperti dia dapat digolongkan Fii Sabillillah.” Lalu Rasulullah bersabda,” Kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; Kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah (HR At Thabrani)
Kontributor : Ario Bagus Pamungkas
Editor : Abdul Ghofur