SALAH SATU tradisi, budaya Islam di Indonesia yang melekat pada Idulfitri adalah halalbihalal yang diartikan sebagai maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan.
Meskipun mengandung unsur bahasa Arab, kata halalbihalal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. “Halalbihalal” hanya merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna menguraikan kekusutan tali persaudaraan”.
Kata halalbihalal bisa didasarkan pada asal bahasa halla-yahallu-hallan, dengan makna terurai atau terlepas. Dengan arti, halalbihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat dan atau setelah hari raya Idul Fitri. (Niamillah,2014). Misal saja, selama setahun sebelum Idul Fitri di tengah-tengah kita terjadi kesalahpahaman, atau banyak kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan secara sengaja maupun tidak di antara sesama, maka halalbihalal ini adalah waktu untuk menguraikan keruwetan yang tentu mengganjal hati tersebut. Dengan cara meminta maaf dan juga memaafkan,”.
Menelusuri sejarah tradisi halalbihalal dapat diketahui, bahwa budaya tersebut pertama kali kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. (laman Kemenag.go.id).
Lebih lanjut dituliskan, dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.
Sementara itu Aan Ardianto dalam muhammadiyah.or.id menulis, bahwa sejarawan Muhammadiyah yang juga Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi merujuk Ahmad Baso menyebut, tradisi keagamaan silaturahim yang dikemas secara formal telah ada sejak 1700 an di Daerah Cirebon
Dia memaparkan dalam tulisannya, pada masa selanjutnya, tradisi ini masih terus berlangsung dan mengalami pemodernan tata cara. Misalnya, ditemukan rubrik khusus dalam Soeara Moehammadijah No. 5 Tahun 1924 yang diperuntukkan bagi pembaca yang ingin menyampaikan ucapan permohonan maaf sekaligus menyambung silaturahmi antar anggota melalui media massa. Di situ menggunakan istilah Alal Bahalal.
Ghifari menyebut Suara Muhammadiyah (SM) memodernisasi cara umat Islam khususnya warga Muhammadiyah dalam bersilaturahmi. “Kita sebenarnya memulai tapi pada aspek sisi kemajuan dan modernitas, yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah adalah seiring dengan berkembangnya literasi melalui pers islam, yakni Suara Muhammadiyah sebagai pers tertua”.
Pada 1924 menjadi tonggak sejarah yang perlu diingat, sebab muncul cara baru seorang muslim dalam menyampaikan salam, permohonan maaf, dan menjalin silaturahmi melalui platform media massa modern yang saat itu Majalah SM. Dalam konteks awal abad 20, majalah merupakan media massa yang sangat modern di tengah kolonialisme.
“Kontribusi besar Muhammadiyah pada tradisi Alal Bihalal disajikan dalam platform majalah, yang disitu menunjukkan modernitas dan kemajuan Muhammadiyah. Bahwa warga Muhammadiyah itu adalah kelompok yang terpelajar – intelektual, karena dekat dengan literasi dengan buku dan ilmu pengetahuan,” kata Ghifari di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Ketika melakukan pencarian literasi, Ghifari menyebut tradisi halalbihalal merupakan genuin dari Nusantara, khususnya dari Jawa. Sebab sejauh ini dia belum menemukan literatur yang menunjukkan tradisi ini di luar Jawa. Namun saat ini tradisi halal bihalal telah diserap dan dilakukan tidak hanya di Jawa, tapi hampir di seluruh Indonesia.
Menurut Ghifari, tidak hanya di SM pada 1924, modernisasi tradisi halal bihalal juga ditunjukkan dengan adanya Brosur Lebaran dari Muhammadiyah Kotagede. Hadirnya brosur itu menurut Ghifari juga mewadahi model silaturahmi secara berkemajuan. Selain itu, hadirnya Brosur Lebaran juga menunjukkan tingginya literasi warga Muhammadiyah.
Sumber lainnya menyebutkan, tradisi halalbihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi.
Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah kegiatan halalbihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional. Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan umat beragama.
Versi kedua sebagaimana dilansir laman Universitas Insan Citra Indonesia, menyebut Halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Wahab memperkenalkan istilah Halalbihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.
Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul ‘Halalbihalal.’ Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja.