SHOLAT Subuh berjamaah di Musholla Baitussalam baru saja selesai. Sebagian anggota jamaah mulai meninggalkan musholla kecil itu, tapi Mak Siti belum beranjak dari tempat sholat. Janda lansia itu masih duduk tawaruk dan berdo’a, menengadahkan kedua telapak tangannya, memohon kepada Allah supaya diberi kemudahan setiap kali menjalankan ibadah dan diberi rizki yang cukup agar pengabdian kepada Tuhannya tertunaikan dengan baik.
Merasa do’anya cukup, Mak Siti perlahan melepas mukena yang sedari tadi membungkus sekujur tubuhnya kemudian meletakkan rukuh itu bersama manik-manik tasbih di atas sajadah lantas menggulungnya.
Mak Siti bangkit dari tempat sholat, ngempit sajadah kemudian meninggalkan musholla tua yang selama ini sebagai tempat rutinnya sholat berjamaah.
Sesampai di rumah dan memasukkan peralatan sholat di almari kayu, Mak Siti segera merapikan dagangan di teras rumahnya.
Ada sepeda onta berdiri tegak. Di boncengan kereta angin itu ditumpuki dua karung plastik berisi sayur-sayuran hijau yang diikat karet ban bekas.
Bagi Mak Siti sayuran bayam, kangkung, daun singkong, dan kacang panjang sedikit mampu menghidupi keluarganya. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi dirinya dan dua anaknya sejak ditinggal mati suaminya, Supangat, lima tahun lalu.
Pagi itu Mak Siti bersiap menuju ke pasar, tempat ia menjual dagangannya. Sejenak ia anaknya, Maryam yang adi di dapur.
“Kamu sudah sholat Nok ?” tanya Mak Siti.
“Saya lagi nggak sholat Mak, ” Mak Siti faham jawaban anaknya, sedang berhalangan, M.
“Mamak berangkat ke pasar. Jangan lupa nanti ke kebun, bayam dan kangkung dipanen lagi. Pulang dari pasar Mamak nyusul ke kebun,” pesan Mak Siti sambil menyerput teh hangat yang disiapkan anaknya.
Mak Siti kembali menuju teras, dimana sepeda tuanya telah menunggu tuannya, siap digiring dan dikayuh dengan beban dagangan di boncengan belakang.
Matahari masih malu-malu menampakkan cahayanya, tapi hembusan angin pagi itu mampu menerpa tubuh-tubuh manusia yang berlalu lalang di jalanan, termasuk Mak Siti yang terus mengayuh pedal sepeda ontelnya.
“Alhamdulillah,” ucap Mak Siti lirih ketika sampai pasar tradisional. Terlihat wajah keriputnya berkeringat, lantas ia sapu dengan punggung tangannya yang juga mengeriput.
Pagi itu pasar terlihat ramai. Riuh rendah suara pedagang dan pengunjung saling bersahutan melakukan transaksi.
Tak lama seorang pedagang menghampiri sepeda Mak Siti, ingin melihat apa yang dibawa perempuan tua itu.
“Kangkungnya berapa ikat, Mak ?” tanya Ngaisah, perempuan tambun yang sering mborong sayuran Mak Siti.
“25 ikat, Yu,” jawab Mak Siti sambil menurunkan tiga karung dari bonjengan sepedanya.
“Sekalian daun singkongnya, ya ? pinta Ngaisah.
“Boleh, tapi kacang panjangnya jangan, Yu. Itu pesenan Mbak Yu Solekhah,” ujar Mak Siti.
“Kacang panjang saya sudah dapat,” sahut Ngaisah.
“Berapa daun singkong dan kangkungnya ?” tanya Ngaisah sambil membuka dompet warna hitam.
“Biasa, Yu,” jawan Mak Siti singkat. Ia tidak mau menjual dagangannya dengan harga mahal, yang penting tiga karung sayuran hijau bisa menjadi uang dalam waktu singkat.
Diterimanya dua lembar uang kertas warna merah dan dua karung plastik kosong sebagai pengganti dari Ngaisah. Alhamdulillah, ucap Mak Siti lirih.
Dari kejauhan perempuan kurus, Sholekhah berjalan agak cepat menuju ke arah Mak Siti, keburu kacang panjang pesanannya dibeli orang lain.
Tanpa ditanya, Mak Siti menunjukkan satu karung kacang panjang yang siap diangkat Lek Supar, pembantu Ngaisah.
“Itu Nok kacang panjangnya,”
“Iya Mak. Ini uangnya, harganya sama dengan kemarin, to, ?” kata Ngaisah sambil menyodorkan dua lembar uang kertas warna biru.
“Sama, Nok. Matur nuwun,” jawab Mak Siti sambil menerima uang kacang panjang dan selembar karung kosong.
Hati Mak Siti bertambah lega. Ia benar-benar bersyukur. Pagi itu hasil jerih payah di ladang bersama kedua anaknya berbuah rizqi. Sayur-sayuran tiga karung yang dipetik kemarin sore diganjar oleh Allah melalui pedagang sayur dengan nominal tiga ratus ribu rupiah, sebuah harga yang pantas menurut ukuran Mak Siti.
Uang hasil menjual sayuran Mak Siti gunakan sebagian besar ia simpan dengan baik untuk mewujudkan mimpi berkurban yang tertunda tahun kemarin. Ia ingin mengulang qurban kambing satu ekor lima tahun lalu sebelum suaminya, Supangat meninggal, dan hewan kurban itu ia beli dari hasil jual sayuran yang hampir setiap sore mereka petik bersama di sepetak ladang miliknya.
Mereka tahu ibadah kurban setahun hanya sekali, dan bagi Mak Siti sendiri belum bisa menuanaikan kurban atas nama dirinya sendiri. Ia ingin tahun ini berkurban. Mak Siti tidak mau lagi menunda kurban tahun depan.
Tahun kemarin, sepekan sebelum Idul Adha dirayakan Mak Siti sempat bertandang ke kandang kambing milik Haji Haris. Puluhan ekor kambing dan belasan sapi itu sengaja Pak Haji sediakan untuk masyarakat yang membutuhkan hewan kurban, dan waktu itu Mak Siti bermaksud membeli seekor kambing untuk kurban, tapi karena uangnya kurang, impian Mak Siti berkurban kandas, dan uang kambing itu sebulan kemudian berpindah ke tangan anak lanangnya, Rokhim, dipinjam untuk biaya khitan cucu satu-satunya Mak Siti.
Matahari merangkak naik, menebarkan helai-helai sinar ultraviolet kepada seluruh penghuni pasar tradisional.
Mak Siti tak ingin lama-lama di pasar, segera pulang. Ia memasukkan tali karet ban bekas ke karung lantas diikatkan ke boncengan sepeda ontelnya kemudian digiring dan dikayuhnya pelan-pelan.
Ketika Mak Siti sampai di halaman rumahnya, ia dibuat kaget. Perempuan tua itu melihat sebuah mobil keluarga warna hitam parkir di depan rumahnya. Mobil siapa itu, dan siapa yang sudi masuk dan bertamu di rumahnya, batin Mak Siti.
Perlahan Mak Siti turun dari sepeda lantas dituntunya menuju pojokkan, tempat sang onta istirahat.
Mak Siti kembali memperhatikan mobil tipe SUV, ia masih belum tahu pemilik mobil mewah itu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Mak Siti sedikit keras saat akan membuka pintu rumahnya.
“Waalaikumsalam,” jawab laki-laki dari kamar mengimbangi suara salam si empu rumah.
Di telingan Mak Siti suara itu tidak asing. Sosok laki-laki dan seorang perempan muncul dari balik pintu kamar.
“Lho kok kamu, Khim. Itu mobil siapa, kamu pinjam siapa, dan kamu, Rodiyah pulang kapan ?.” Mak Siti memberondong pertanyaan kepada pasangan suami istri itu.
“Kok pinjam. Itu mobil kami, Mak, beli,” jawab Rodiyah sambil mencium tangan mertuanya.
Rokhim yang berpenampilan klimis diiringi istrinya mendekati ibunya yang duduk di kursi tamu.
“Dek Rodiyah pulang tiga hari lalu. Alhamdulillah, selama empat tahun dia kerja di luar negeri pulang membawa uang banyak, Mak, ” jawab Rokhim.
“Mak, setengah bulan lagi Idul Adha. Kami tau kalau Mamak ingin berkurban,” kata Rokhim memberi tahu kepada Mamaknya.
“Dulu, kami pernah pinjam uang Mamak untuk sunatan si Fikri. Sekarang uang Mamak kami kembalikan,” terang Rokhim sambil menyerahkan amplop coklat ke Mamaknya.
Mak Siti diam, dan tidak menyangka uang kurban yang dipinjam anaknya setahun lalu dikembalikan.
Kendal, Mei 2024