Oleh Gofur Al Kendali
Di sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa, bendera merah putih berkibar lesu di halaman sekolah menengah. Tali pengikatnya kusut, warnanya agak pudar. Murid-murid yang lewat hanya melirik sekilas, lalu kembali menunduk pada layar ponsel.
Alfa, seorang siswa kelas sebelas, ikut terdiam memandang. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Sejak kecil ia sering mendengar cerita kakeknya tentang bagaimana rakyat berjuang dengan bambu runcing, bagaimana darah ditumpahkan agar Merah Putih bisa berkibar di tanah air sendiri. Tapi kini, bendera itu seolah dibiarkan berdiri tanpa makna.
“Kenapa kita seakan lupa?” gumamnya pelan.
Hari itu, menjelang peringatan 17 Agustus, sekolahnya hanya merencanakan lomba-lomba sederhana. Tidak ada napak tilas perjuangan, tidak ada renungan malam. Semua seakan hanya rutinitas.
Alfa merasa gelisah. Ia bukanlah pahlawan seperti Jenderal Soedirman yang rela bergerilya, atau Bung Tomo yang membakar semangat rakyat. Ia hanya remaja generasi Z yang sibuk dengan tugas sekolah, media sosial, dan mimpi-mimpi masa depan. Tapi ia sadar, kemerdekaan yang ia nikmati hari ini tidak datang begitu saja.
Malam itu ia membuka buku harian tua milik kakeknya. Di sana tertulis kalimat sederhana:
“Merdeka itu bukan hadiah, melainkan warisan yang harus dijaga dengan kerja keras.”
Alfa terdiam lama. Kata-kata itu menyalakan api kecil di dadanya.
Keesokan harinya, ia mengajak teman-temannya membentuk panitia kecil. Mereka sepakat membuat peringatan kemerdekaan yang lebih bermakna. Tidak sekadar lomba makan kerupuk, tapi juga pawai budaya, lomba pidato tentang pahlawan lokal, hingga penampilan musik yang menyelipkan pesan nasionalisme.
Awalnya banyak yang mencibir. “Ngapain ribet? Toh upacara cuma formalitas,” kata seorang temannya. Tapi Alfa tidak mundur. Ia belajar dari para pahlawan: jika mereka saja tidak gentar melawan penjajah dengan segala keterbatasan, bagaimana mungkin ia menyerah hanya karena ejekan?
Hari peringatan pun tiba. Di tengah lapangan, bendera merah putih berkibar gagah. Alfa menjadi pemimpin upacara. Suaranya bergetar saat memimpin penghormatan. Bukan karena gugup, melainkan karena terharu.
Saat bendera naik perlahan, angin membawa kain itu menari. Alfa melihat mata beberapa gurunya berkaca-kaca. Murid-murid yang biasanya sibuk dengan gawai pun ikut berdiri tegap, seakan baru tersadar: inilah simbol harga diri bangsa.
Usai upacara, seorang guru senior menepuk bahu Alfa. “Nak, apa yang kamu lakukan hari ini sederhana. Tapi percayalah, dari hal kecil seperti ini api patriotisme bisa menyala kembali.”
Alfa hanya tersenyum. Ia tahu dirinya bukanlah pahlawan kemerdekaan. Ia hanya bagian kecil dari generasi penerus. Tapi ia percaya, menjaga arti kemerdekaan adalah bentuk perjuangan di zamannya.
Sebab bangsa ini tidak hanya butuh pahlawan di medan perang, tetapi juga pahlawan di tengah keseharian—yang berani menjaga nilai, merawat persatuan, dan menyalakan kembali semangat Merah Putih.
Dan Alfa memilih menjadi salah satunya.
Gading Menjelang Fajar, 17/8/2025