Oleh : Abdul Ghofur
KENDALMU.OR.ID. SUMANAN namanya, dan kami memanggilnya Mbah Manan. Lelaki tua yang barangkali tak begitu dikenal di kalangan luas warga Muhammadiyah Kendal.
Ia bukan tokoh besar, bukan pula pejabat penting organisasi. Ia hanyalah seorang anggota Muhammadiyah biasa, yang menjalani hari-harinya sebagai petani kecil selepas pensiun dari tugasnya sebagai Modin di Desa Bojonggede, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal.
Kini Mbah Manan sudah almarhum, namun bagi warga Muhammadiyah di Ngampel, Mbah Sumanan lebih dari sekadar petani atau pensiunan modin. Ia adalah sosok penjaga Musholla Baitussalam—sebuah surau kecil yang berdiri tepat di depan rumahnya.
Mbah Manan tak hanya menjadi imam, beliau juga setia mengajar ngaji anak-anak selepas Maghrib, sambil menanti waktu Isya berjamaah tiba. Suaranya yang tenang dan sabar masih terngiang di telinga mereka yang dulu belajar mengeja huruf-huruf hijaiyah di musholla itu.
Musholla Baitussalam sendiri konon berdiri sekitar tahun 1976, hasil gotong royong warga sekitar bersama dukungan dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pegandon—jauh sebelum desa itu kemudian masuk Kecamatan Ngampel.
Musholla Baitussalam dibangun di atas sebidang tanah milik pribadi Mbah Manan. Tanah seluas 12 x 10 meter waktu itu memang belum bersertifikat atas nama persyarikatan Muhammadiyah, namun sejak awal Mbah Manan sudah memiliki niat kuat untuk mewakafkannya. Ia berharap tanah tersebut dapat diproses menjadi sertifikat resmi milik Muhammadiyah agar keberadaan musholla itu memiliki dasar hukum yang kuat dan bisa dimanfaatkan jangka panjang oleh umat.
Waktu terus berjalan. Sekitar bulan Februari tahun 2003, setelah Desa Bojonggede resmi berpisah dari Kecamatan Pegandon karena pemekaran wilayah dan menjadi bagian dari Kecamatan Ngampel, kondisi fisik Musholla Baitussalam mulai memprihatinkan. Beberapa bagian bangunan tampak rusak. Dindingnya mulai mengelupas, lantai retak-retak, genteng bocor di sana-sini, sementara usuk dan reng di atap sudah rapuh dimakan rayap.
Ketika kondisi Musholla Baitussalam semakin memprihatinkan, Mbah Manan pun memberanikan diri menyampaikan hal tersebut kepada Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel yang saat itu baru terbentuk. Ia berharap ada bantuan atau solusi agar musholla yang selama ini menjadi tempat ibadah dan belajar warga dapat segera direnovasi. Namun harapan itu belum dapat terwujud. PCM Ngampel masih dalam tahap awal konsolidasi, baru saja disahkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kendal, sehingga belum memiliki kekuatan sumber daya, termasuk dalam hal pendanaan pembangunan.
Sementara itu, desakan dari warga sekitar terus berdatangan. Mereka ingin musholla segera diperbaiki karena kondisinya sudah tidak layak lagi digunakan, terutama saat hujan turun dan air menetes dari atap yang bocor.
Mbah Manan berada dalam posisi yang serba sulit—di satu sisi ingin menghormati prosedur organisasi, namun di sisi lain tidak bisa menutup mata terhadap kebutuhan jamaah di lingkungan sekitarnya.
Hari itu cuaca terasa terik, meskipun malam sebelumnya hujan sempat turun membasahi bumi. Sisa-sisa air masih menggenang di beberapa sudut Musholla Baitussalam, merembes masuk melalui celah atap yang bocor. Lantai musholla yang lembap belum sempat dipel atau dibersihkan sejak pagi, meninggalkan kesan muram dan sedikit licin.
Sekitar pukul 07.30 pagi, Mbah Manan tampak keluar dari rumahnya sambil menuntun sepeda tua kesayangannya. Dengan pakaian rapi dan peci hitam tersemat di kepala, ia berniat menghadiri acara walimatul safar di desa sebelah—sebuah tradisi perpisahan bagi warga yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.
Sementara itu, istrinya, Mbah Marminah, tetap tinggal di rumah. Dengan cekatan, ia sibuk mengikat sayur-sayuran segar seperti kangkung dan bayam yang baru saja dipetik dari sawah. Sayur-sayur itu akan dibawanya sore nanti ke Pasar Srogo untuk dijual. Sehari-hari, beginilah kehidupan pasangan sepuh itu berjalan—sederhana, penuh kerja keras, dan tak lepas dari denyut kehidupan kampung yang hangat.
Di siang hari yang terik itu, suasana mendadak berubah ketika salah satu warga bersuara lantang. Ia meminta agar Mbah Manan menyerahkan Musholla Baitussalam untuk direnovasi. Tuntutan itu muncul sebagai bentuk ketidaksabaran warga terhadap kondisi musholla yang dianggap perlu diperbaiki.
“Mbah Manan harus ingat, sebagian besar bangunan musholla ini dibangun dari swadaya warga kami. Karena itu, kami ingin mengambil alih,” ujar Ketua RT setempat dengan nada tegas.
Puluhan warga yang hadir tampak menyetujui pernyataan tersebut. Beberapa bahkan mulai menunjukkan keinginan untuk segera merobohkan surau kecil itu.
Di sisi lain, Mbah Marminah yang berada di dalam rumah tidak sepenuhnya memahami situasi. Namun kabar bahwa musholla akan dirobohkan cukup membuat perempuan tua itu merasa cemas dan waswas.
Tak ada yang tahu, saat itu Mbah Manan sedang menghadiri acara walimatul safar di rumah kerabatnya. Di sekitar Musholla Baitussalam, suara warga justru semakin membahana, bergemuruh seperti gelombang yang tak bisa dibendung.
Mereka berdiri berkerumun, saling bersahut-sahutan—menawarkan dua pilihan yang terdengar seperti ultimatum: musholla direnovasi bersama atau dirobohkan, dan materialnya diambil oleh warga yang merasa ikut memiliki.
Lalu, tanpa aba-aba, terdengar suara keras—bruug!—diiringi derak kayu-kayu tua yang patah dan suara genteng pecah berserakan di tanah. Musholla Baitussalam, yang selama ini berdiri sebagai penjaga sunyi kampung itu, roboh. Hancur perlahan di tengah kerumunan, menyisakan debu dan diam yang anehnya lebih bising dari teriakan apa pun.
Sementara itu, di balik kaca pintu rumah yang sederhana, Mbah Marminah berdiri terpaku. Matanya yang renta menatap ke luar dengan nanar. Dari celah tirai, ia menyaksikan Musholla Baitussalam—rumah kecil Allah—dihancurkan beramai-ramai. Air mata perlahan menitik di pipinya yang keriput, membasahi wajah yang memendam duka dalam diam.
Tak lama kemudian, warga yang merasa berjasa atas robohnya musholla mulai mengerubungi puing-puing yang berserakan. Kayu-kayu lapuk, genteng pecah, dan batu-bata tua dipungut satu per satu, diangkut dengan semangat yang ganjil. Seolah tak ada lagi bekas tempat sujud, tak tersisa ruang yang pernah menyimpan doa-doa malam.
Musholla Baitussalam tinggal kenangan. Tempat yang dulu menjadi saksi bisu sujud dan doa itu telah lenyap, rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah sejengkal pondasi tua—sunyi, retak, dan terlupakan—seolah berusaha tetap berdiri di tengah luka yang tak terucapkan.
Sepulang dari acara walimatul safar, Mbah Manan tertegun di pinggir jalan. Tubuhnya seketika lemas, matanya membelalak tak percaya. Di hadapannya, tempat yang selama puluhan tahun menjadi pusat ibadah dan berkumpul warga itu—Musholla Baitussalam—tinggal pondasinya saja. Rata dengan tanah. Di tempat ini tak ada lagi suara azan, tak ada lagi bayangan bangunan mungil nan teduh itu.
Hatinya bergetar. Ia mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya sudah dipenuhi berbagai dugaan. Siapa yang tega melakukan ini? Tanpa pemberitahuan, tanpa musyawarah. Ia curiga, ini pasti ulah sebagian warga yang bertindak gegabah, main hakim sendiri, merobohkan musholla tanpa izin atau persetujuannya. (bersambung)
2 Komentar
Mbah Manan .. berkoordinasi dg pcm Kaliwungu saat pengajian Ahad pagi di balai dakwah .. beliau bercerita singkat ttg kondisi mushalla yg di ‘ganyang’ oleh warga .. jamaah termotivasi dan berinfaq 4 pilar utama biar segera berdiri dan dilanjut menghadirkan Amin Rais untuk tengok dinamika ini.
Betul sekali dan kehadiran Pak Amin Rais yang membantu 10 juta akan kami masukkan di bagian kedua tulisan nanti