BANDUNG. KENDALMU.OR.ID. Indonesia tengah menghadapi perubahan besar dalam lanskap kehidupan keluarga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan angka pernikahan yang signifikan dalam empat tahun terakhir. Jika pada tahun 2020 tercatat 1.780.346 pernikahan, maka pada 2024 jumlahnya merosot tajam menjadi 1.478.302.
Di sisi lain, angka perceraian masih bertahan tinggi, mencapai kisaran 400.000 kasus per tahun. Fenomena ini mencerminkan bahwa pernikahan semakin kehilangan pesonanya, terutama di mata Generasi Z—generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital, penuh tekanan sosial, dan dibentuk oleh narasi media.
Dikutip dari muhammadiyah.or.id. Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Adib Sofia, memaparkan berbagai faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Menurutnya, generasi muda saat ini hidup dalam kompetisi global yang sengit, sehingga lebih fokus pada pencapaian akademik, karier, dan kebebasan pribadi.
“Nilai materialistik menjadi sangat penting di era media sosial, di mana semuanya serba diunggah dan diketahui orang. Kecukupan finansial menjadi prasyarat utama sebelum seseorang merasa siap menikah,” ungkap Adib.
Tak hanya itu, media sosial dan infotainment turut memperburuk citra pernikahan. Paparan berita tentang keretakan rumah tangga selebritas, yang lebih sering viral dibandingkan kisah keluarga harmonis, menciptakan rasa takut yang menyusup ke dalam benak anak muda.
“Mereka banyak mengonsumsi berita pernikahan seleb yang gagal. Ini menarik sebagai konten, tapi berdampak buruk pada persepsi mereka terhadap pernikahan,” tambahnya.

Gaya hidup individualistik yang dianggap lebih nyaman, ketidakstabilan ekonomi, dan tingginya biaya hidup juga menjadi alasan utama mengapa banyak anak muda merasa gamang membayangkan hidup berkeluarga. Tak sedikit dari mereka yang menetapkan kriteria pasangan sangat spesifik, bahkan terlalu ideal, akibat terbukanya interaksi lintas budaya dan standar hidup dari media global.
Adib juga menyoroti “hilangnya wacana” tentang makna pernikahan dalam narasi publik. Media dinilai lebih senang mengangkat cerita kegagalan daripada keberhasilan.
“Pernikahan adalah mitsaqan ghalidza (perjanjian kokoh), penyempurna agama, ciri khair ummah (umat terbaik). Ia membawa sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tapi, suara ini nyaris tenggelam,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya keteladanan orang tua, yang bukan hanya soal membesarkan anak, tetapi juga menunjukkan bahwa keluarga bisa menjadi ruang cinta, aman, dan penuh makna. Keluarga memiliki banyak fungsi vital—edukasi, proteksi, afeksi, ekonomi, hingga religius dan biologis—yang tidak bisa digantikan oleh gaya hidup individual.
Dari perspektif keimanan, Adib mengingatkan bahwa Allah telah menjamin rezeki setiap makhluk, bahkan yang lebih kecil dari semut. Keyakinan terhadap takdir dan daya lenting manusia adalah bagian dari solusi spiritual menghadapi tantangan zaman.
Ia juga mengapresiasi sistem-sistem sosial yang telah dibangun oleh negara dan masyarakat, seperti dukungan pendidikan, layanan konseling, dan program penguatan keluarga. Namun, semuanya akan percuma jika narasi positif tentang keluarga tak diangkat sebagai arus utama.
“Kita perlu mengubah cara bicara kita tentang pernikahan. Bukan hanya soal romantisme, tapi juga tentang kebersamaan, tanggung jawab, dan makna,” ajaknya.
Melihat tren penurunan pernikahan ini, Adib mendorong peran aktif media, organisasi keagamaan, dan masyarakat untuk mengembalikan martabat dan nilai pernikahan di tengah arus pragmatisme dan tekanan sosial. Pernikahan, katanya, bukan sekadar institusi, tetapi jalan menuju kematangan dan keberkahan hidup.
Dengan dukungan sistemik dan narasi yang sehat, Generasi Z bisa kembali memandang pernikahan bukan sebagai beban, melainkan sebagai langkah mulia membangun masa depan bersama.
