Oleh Abi Daulah Haque*)
RAMADAN 1445 H kali ini menjadi sebuah momentum tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Salah satu yang menarik adalah tradisi berburu takjil menjelang waktu berbuka puasa. Bahkan, akhir-akhir di media sosial viral oleh netizen dengan menyebut dengan War takjil dalam bahasa Indonesianya kata “war” adalah berburu atau memperebutkan takjil.
Pada hakikatnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil memiliki makna ‘mempercepat (dalam berbuka puasa)’.
Hal ini sesuai dengan akar katanya dalam Bahasa Arab, yakni ‘ajila’ yang berarti menyegerakan. Jadi maksud Takjil sejatinya adalah menyegerakan membatalkan puasa dengan makanan pembuka. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa untuk selalu menjadi baik, manusia harus mempercepat untuk berbuka puasa.
Takjil bukan sekedar pelengkap ramadhan, Aneka kudapan ini meluruhkan rasa lapar dan dahaga. Takjil merupakan pemandangan yang paling indah selain senja di Bulan Ramadan. Itu bukan kalimat yang saya kutip dari pujangga atau sastrawan mana pun. Setidaknya, itu yang saya rasakan di saat-saat menjelang berbuka puasa. Karena menyangkut perasaan, sifatnya mungkin terlalu personal dan terkesan sentimental. Keterpesonaan saya pada momen seperti ini bukan pada pemandangan eksotis lembayung setengah jingga yang kerap menghias larik-larik puisi, lagu, ataupun caption kaum milenial penikmat senja, melainkan pada maraknya penjual takjil di pinggir jalan.
Bermodalkan meja atau etalase kecil, banyak warga mendadak mengadu keberuntungan menjadi pengusaha aneka kudapan untuk berbuka puasa ini. Dari gorengan, kue-kue basah, hingga aneka kolak. Lalu lintas di sejumlah ruas jalan di pinggiran kota mungkin tersendat, tapi dari aktivitas rakyat kecil inilah justru perekonomian nasional ikut bergerak kendati mungkin hanya sepersekian persen. Jika tidak percaya, silakan tanya Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Margo Yuwono atau Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Aneka kudapan ini juga kerap menjadi pemersatu bangsa. Semua punya hak yang sama berburu penganan ini, tidak peduli agama, ras, maupun kelas sosial mereka. Dari yang naik Fortuner hingga skutik yang ditunggangi emak-emak berdaster. Bagi saya, pemandangan sederhana ini adalah lukisan senja yang tiada tara. Dalam acara buka puasa bersama yang sering dipendekkan menjadi bukber, takjil tidak jarang juga menjadi menu perekat kebersamaan. Dari kaum sosialita hingga rakyat jelata. Dari lingkup tetangga, sekolah, kampus, kantor, hingga instansi dan lembaga negara, semua ngariung tanpa sekat agama.
*Ketua Bidang Ekonomi, Keuangan, Perbankan BPC HIPMI Kendal
1 Komentar
Alhamdulillah ya, tahun ini kita masih diberikan rezeki untuk menikmati indahnya Ramadhan.
Alhamdulillah tahun ini juga saya tidak melihat sedikit pun orang yang mencela bulan Ramadhan padahal tahun sebelumnya sedikitnya saya melihat komenan orang-orang yang mencela bulan Ramadhan diberbagai media sosial.
Inilah bukti nyata bahwa “media sosial” dan “trend” seberpengaruh itu terhadap kehidupan kita dimasa kini, saat ini orang-orang mudah terbawa pada sesuatu yang sedang ramai orang lakukan. Kedepannya kita harus sering-sering menciptakan sebuah trend yang positif agar menghasilkan hasil yang positif pula