Oleh Abdul Ghofur*)
SECARA umum ummat Islam mendefinisikan Idulfitri sebagai hari kemenangan, lantaran satu bulan penuh di bulan Ramadhan telah berani dan sukses mengekang segala hawa nafsu negatif yang akan meruntuhkan kualitas ibadah puasa.
Dan ketika mereka merasa hebat, mampu menaklukkan antusiasme dan dengan penuh keikhlasan menjalankan ritual-ritual ibadah puasa Ramadhan yang didukung dengan kesalekhan sosial, mereka merasa berhak merayakan hari yang dinilai sangat istimewa, yaumul ied.
Idul Fitri adalah hari yang dinilai sebagai puncak spiritual dalam tradisi dan ajaran agama Islam, karena hari itu merupakan kembali kepada fitrah, yaitu kembalinya manusia menuju kepada fitrah kemanusiaan yang secara asali tak berdosa, bersih dari dosa-dosa.
Tetapi mahkota fitrah di era idulfitri tidak begitu mudah mereka peroleh. Selama satu bulan penuh menunaikan ibadah Ramadhan yang didalamnya berpuasa tidak hanya secara fiqih, tetapi syari’at dan akhlaq, karena puasa spiritualitas, bernilai transenden, yang menegaskan adanya interaksi yang kuat antara hamba dengan Sang Khaliq. Puasa dalam konteks moralitas atau akhlaq bertumpu pada semangat, jihad melawan hawa nafsu, menangkal godaan-godaan dan rayuan-rayuan syetan yang melintas di pikiran kita, yang berpotensi melahirkan tindakan sembrono yang mengakibatkan puasa kita ternoda, tercederai, atau cacat.
Dengan mengisi ibadah penuh keikhlasan di bulan Ramadhan sebagai usaha untuk menggapai kembali pada puncak kemanusiaan, yaitu kesucian, maka proses ibadah puasa Ramadhan dengan berbagai perspektifnya diharapkan mampu mewujudkan individual yang unggul sehingga dalam berinteraksi dengan sesama melahirkan suasana kehidupan harmonis dan berkemajuan.
Puasa Ramadhan tahun ini telah berakhir, masuk Idul Fitri di 1 Syawal yang diartikan sebagai hari kemenangan spiritual dan sosial, yang merupakan wujud kemenangan manusia atas watak syaithaniyah dan kemenangan sosial dari orang-orang yang berpuasa Ramadhan. Kemenangan sosial ini jika terus dipupuk dengan baik maka akan menjadi modal besar dalam rangka menguatkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.
Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya.
*)Abdul Ghofur Ketua PCM Ngampel