NGAMPEL,KENDALMU.OR.ID – Adzan merupakan panggilan suci umat Islam untuk menunaikan sholat. Selain sebagai penanda masuknya waktu sholat, adzan juga berfungsi mengumpulkan jamaah untuk melaksanakan ibadah secara berjamaah.
Namun dalam praktiknya, masih banyak kebiasaan masyarakat terkait adzan yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Permasalahan ini menjadi pokok bahasan dalam Kajian Rutin Ahad Pagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel pada Ahad (5/10/2025) di Aula Kecamatan Ngampel.
Kajian menghadirkan Ustadz Mustofa yang menjelaskan persoalan adzan dengan merujuk pada Kitab Bulughul Maram.
Menurutnya, salah satu kebiasaan yang sering ditemui adalah adanya bacaan atau lantunan doa sebelum adzan dikumandangkan. Padahal, dalam syariat Islam, hal itu tidak ada tuntunannya.
“Tidak ada bacaan sebelum adzan. Sejak adzan diajarkan oleh malaikat dari Allah, tidak ada perintah untuk menambahinya. Yang ada hanyalah doa setelah adzan,” tegasnya.
Terkait penggunaan tatswib pada adzan Subuh—yakni seruan ash-sholaatu khoirum minan naum—Ustadz Mustofa menegaskan hal itu dibenarkan karena dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Tatswib ini pertama kali diucapkan oleh Bilal bin Rabah ketika Rasulullah sedikit terlambat ke masjid.
“Kalau sesuatu dilakukan pada masa Rasulullah masih hidup dan beliau membenarkannya, itu bukan bid’ah. Bahkan Rasul memuji Bilal karena melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa adzan hanya berlaku untuk sholat lima waktu. Tidak ada adzan untuk sholat sunnah, termasuk sholat Idul Fitri maupun Idul Adha.
“Adzan di liang kubur pun tidak ada tuntunannya, kecuali untuk bayi yang baru lahir karena ada hadits hasan terkait hal itu,” tegasnya.

Adzan juga digunakan pada masa Rasulullah menjelang Subuh sebagai pengingat sholat malam dan membangunkan sahur di bulan Ramadhan. Namun di masa kini, kebiasaan itu sering diganti dengan pemutaran tilawah Al-Qur’an.
“Itu sah-sah saja dilakukan agar tidak mengagetkan masyarakat, tetapi bukan dalam bentuk adzan,” tambahnya.
Ia juga meluruskan salah kaprah di masyarakat ketika terjadi musibah atau bencana. Rasulullah, kata Mustofa, pernah memerintahkan muadzin mengucapkan ash-sholatu fi buyutikum (shalatlah di rumah kalian) saat turun hujan deras, bukan mengumandangkan adzan tambahan.
“Jika ada musibah, doanya adalah Allāhumma ajirnī fī mushībatī wa akhlif lī khairan minhā—Ya Allah, berikanlah pahala atas musibah ini dan gantikan dengan yang lebih baik. Jadi bukan adzan,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya memberi jeda 5–10 menit antara adzan dan iqamah, agar jamaah sempat menunaikan sholat sunnah.
Soal muadzin, anak-anak boleh saja mengumandangkan adzan, tetapi sebaiknya dipilih yang sudah baligh dan hanya laki-laki yang diperbolehkan.
Kajian rutin ini diharapkan menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat, agar praktik adzan benar-benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
“Dengan pemahaman yang benar, umat Islam tidak hanya menjaga syariat, tetapi juga menghindari penyimpangan yang bisa diwariskan turun-temurun,” tutup Ustadz Mustofa. (rio)
Kontributor : Ario Bagus Pamungkas