Cerpen Ghofur
MENJADI manusia baik bisa jadi perkara sederhana, tapi juga bisa terasa seperti mimpi yang jauh. Terutama di kampung-kampung yang separuh kota, separuh desa, di mana orang-orang lebih rajin mengawasi langkah tetangga dibanding diri sendiri. Di sana, label “baik” tak cukup diukur dari ibadah dan adab. Ia ditentukan oleh siapa temanmu, dari mana asalmu, dan apa yang tampak di siang bolong.
Di Kebonagung, sebuah kampung yang berdiri di antara rel mati dan sungai hitam berbau limbah, nama Tirta sering disebut. Tapi bukan sebagai teladan, bukan pula sebagai pelaku kriminal. Ia hanya dikenal sebagai lelaki pengangguran yang pernah hampir berhasil, lalu kembali terjerembab dalam lumpur nasib.
Usianya dua puluh tujuh. Belum menikah. Tak punya pekerjaan tetap. Sering duduk di warung kopi, menyeduh waktu bersama Nokia 3310 miliknya yang lecet dan penyok di sudut kanan. HP itu kerap jadi bahan olok-olok Jamal, teman sewarungnya. Tapi Tirta hanya tersenyum.
Bagi Tirta, ponsel itu bukan sekadar alat. Ia menyimpan kenangan. Nada dering monofonik “Nokia Tune” dulu menjadi tanda datangnya SMS dari Melati Sukma, teman semasa SMK yang sempat membuat hatinya menghangat setiap kali layar kecil itu menampilkan namanya.
Selepas lulus dari sekolah kejuruan, Tirta tak langsung dicap sebagai “anak gagal.” Tidak juga disebut “anak baik-baik.” Ia seperti teh tawar di hajatan: disuguhkan, tapi jarang disentuh.
Mungkin karena satu angkatannya semua memilih melanjutkan kuliah ke kota, sementara ia karena realistis, orang tua tidak mampu membiayai, Tirta memilih tetap tinggal di rumah, menyatu dengan ritme kampung yang lambat dan kadang terlalu tenang untuk disebut hidup.
Namun Tirta bukan pemuda tanpa usaha. Ia kerja sosial, ikut ronda malam atas nama keluarga—bapaknya sudah meninggal. Membersihkan musholla menjelang Subuh, membantu tetangga memanggul padi, menimba air sumur, hingga mengangkat galon isi ulang yang lebih berat dari hatinya setiap ditanya, “Kapan kerja?”
Kalau salat, ya salat. Lima waktu. Kadang di musholla, kadang di rumah—tergantung nyala tidaknya lampu atau antrean air. Ia juga tak pernah meninggikan suara kepada ibunya yang sudah mulai renta. Meski sang ibu nyaris tiap pagi mengulang pertanyaan yang sama:
“Tirta, kamu hari ini kerja di mana?”
“Kerja mikir, Bu…”
Tapi di Kebonagung, semua kebaikan Tirta tetap saja dirasa kurang. Bukan oleh Tuhan, tentu, tapi oleh tetangga. Karena Tirta belum punya pekerjaan yang bisa dipamerkan di status WhatsApp, belum bisa membanggakan ibu di grup arisan RT, belum bisa menghadiri hajatan dengan amplop yang berat dan baju yang baru. Ia tetap melenggang sebagai dirinya sendiri: kaos oblong, celana training sekolah, dan sandal jepit yang membentuk perahu.
Motornya? Sebuah legenda kampung. Suara knalpotnya bisa membangunkan ayam sebelum azan Subuh. Tapi hanya Tirta yang tahu cara menyalakannya: genjot tiga kali, tiup karburator sekali, barulah ia hidup dengan batuk kecil yang menggelitik telinga. Dan Tirta tak pernah mengeluh.
Ia tidak mencuri ayam. Tidak mabuk oplosan. Tidak membuat ibunya menangis karena ulah buruk. Kalau pun menangis, itu paling karena terharu—melihat anaknya rela bantu masak saat listrik padam dan rice cooker mogok.
Tapi di balik senyum warga dan sapaan sopan, selalu ada bisik-bisik:
“Tirta itu baik, sih. Tapi ya itu… belum jadi ‘orang’.”
Seolah menjadi “orang” harus dibuktikan dengan sepatu pantofel, slip gaji, dan selfie di depan gedung bertingkat.
Padahal, mungkin justru karena itu Tirta sedang belajar menjadi manusia. Bukan di kantoran, tapi di dapur. Bukan lewat ceramah, tapi lewat tindakan sederhana. Di langkah kaki ke musholla. Di genggaman tangan ibunya yang renta.
Namun stigma terus menempel. Ketika Sujiwo, Pak RW menyindir dalam forum RT:
“Lelaki kalau terlalu lama nganggur, otaknya bisa tumpul atau meledak.”
Ucapan itu menggantung seperti cap di dahi Tirta. Dulu ia sempat hampir berhasil. Magang saat kelas XI SMK di koperasi kecamatan, lalu ditawari kerja setelah lulus karena rajin dan disiplin. Tapi semua itu ditinggalkannya demi merawat sang ayah yang sakit ginjal akibat minuman oplosan. Ketika ayah meninggal, ia memilih tetap di kampung—menjaga ibunya yang mulai menua.
“Apa artinya gaji besar kalau tak bisa menjaga orang tua yang menyekolahkan saya?”
Tapi kalimat itu dianggap pembelaan diri. Terutama oleh ibu-ibu pengajian yang gemar memotong dalil dan harga diri orang sekaligus.
Sore itu kampung Kebonagung gempar. Warung Bu Salamah dibobol maling. Uang dagang dan dua karung beras raib. Tirta jadi sasaran tuduhan tak resmi.
“Dia kan nggak kerja. Tapi kok tadi pagi ke pasar mbonceng ibunya, dan pulangnya membawa belanjaan cukup banyak ?” bisik Rusmin tetangga.
Tirta tetap diam. Tak membela diri. Tetap ikut ronda. Tetap membawa termos kopi. Dua minggu kemudian, dua remaja pendatang tertangkap menjual beras curian. Tapi kampung sudah telanjur menuding Tirta. Hatinya sudah telanjur lecet.
Namun bukan permintaan maaf yang ia cari. Ia malah ikut mengusulkan agar warga membantu Bu Salamah bangkit lagi. Ia datang dengan lima kilo beras, 10 butir telur asin, dan 5 bungkus mie instan.
Di Kebonagung, jadi orang baik bukan cuma soal akhlak. Tapi juga soal menolak sogokan bandar togel. Tidak mencatut data bansos. Tidak ikut panitia fiktif. Dan semua itu ditolak Tirta. Maka ia ditertawakan.
“Kau pikir surga itu disusun dari prinsip?” ejek Dul Karim yang hidup dari nyolong kabel tower.
Tirta menunduk. Bukan karena kalah. Tapi karena tahu, tak semua orang mengerti bahwa menolak bukan berarti kalah. Menolak bisa jadi adalah bentuk tertinggi dari mencintai integritas.
Sampai suatu sore, Ronald datang, teman SMK Tirta, kini jadi pegawai pemda.
“Kau orang jujur, Tirta. Tanda tangan saja, ini formalitas. Kami butuh orang kayak kau.”
Tirta menatap amplop coklat di atas meja. Ingatannya melesat: rumah bocor,perlu motor baru, dan keperluan harian rumah.
Malamnya, kaca rumahnya dilempari. Botol berair kencing menghantam dinding. Coretan muncul:
“Sok suci. Mampus kau!”
Pagi harinya, Tirta tetap berjalan ke musholla. Tanpa alasan untuk absen dari kebaikan kecil yang ia lakoni. Sholat jamaah dengan baju koko lusuh tapi bersih. Sarungnya lusut tapi hangat. Wajahnya letih tapi sorot matanya jernih.
Usai shalat subuh ia tidak segera pulang. Di serambi musholla, Tirta duduk sendirian. Langit pagi masih abu-abu. Seolah mentari pun sedang ragu hari itu. Dalam diamnya, ia menyimpan satu kalimat:
“Aku belum menjadi baik. Tapi aku belum berhenti berusaha.”
Karena ia tahu, kejujuran kadang membuatnya sendirian. Tapi kesendirian yang lahir dari kejujuran lebih baik dari tepuk tangan yang dibayar dengan dusta.
Tirta tidak sempurna. Tapi ia bersih. Ia tak punya panggung, tapi punya prinsip. Dan di dunia yang semakin bising dengan kepalsuan, kadang keberanian untuk tetap jujur adalah satu-satunya hal yang benar-benar bisa menyelamatkan manusia.
Ngampel, Akhir Juni 25