Oleh Abdul Ghofur
UNGKAPAN di atas atau redaksi lain yang sepadan maknanya, barangkali sudah sering kita dengar. Namun, bagi saya sebagai pengelola kendalmu.or.id, kalimat itu terasa berbeda ketika diucapkan langsung oleh Khafid Sirotudin, Ketua Lembaga Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPUMKM) PW Muhammadiyah Jawa Tengah.
Mas Khafid, begitu saya biasa menyapanya, mengulang kalimat itu hingga tiga kali dalam satu kesempatan, seolah ingin menekankan betul maknanya. Peristiwa itu terjadi pada gelaran Bimbingan Teknis (Bintek) Kepenulisan Konten Berbasis Budaya Lokal tahap pertama yang diselenggarakan oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan (Dinarpus) Kabupaten Kendal, pertengahan April lalu.
Ungkapan di atas bagi kita mencerminkan sebuah kebenaran yang diyakini banyak penulis dan pemikir: bahwa menulis bukanlah soal bakat semata, melainkan hasil dari proses panjang, latihan terus-menerus, dan kedisiplinan yang tak kenal lelah.
Salah satu pemikir yang menyuarakan gagasan tidak ada penulis hebat kecuali yang terlatih adalah Malcolm Gladwell. Dalam bukunya Outliers, ia mengemukakan teori 10.000 jam—bahwa untuk menjadi ahli di bidang apa pun, termasuk menulis, seseorang perlu berlatih secara tekun dan intens selama sedikitnya sepuluh ribu jam. Dari sini, kita belajar bahwa keunggulan bukan sekadar hasil keberuntungan atau bakat bawaan, melainkan buah dari kebiasaan yang terus diasah.
Semenatara itu Ernest Hemingway, penulis legendaris Amerika, juga mengakui bahwa menulis adalah pekerjaan tanpa titik tamat. Ia pernah berkata: “We are all apprentices in a craft where no one ever becomes a master.”(Kita semua adalah murid dalam kerajinan di mana tak seorang pun pernah menjadi benar-benar ahli.) Kata-kata ini menegaskan bahwa menulis adalah keterampilan yang terus diasah seumur hidup.
Sedangkan Stephen King, dalam bukunya On Writing, menyampaikan dengan lugas: “The only way to learn to write is to write.” (Hanya dengan menulis, seseorang bisa belajar menuli., karena latihan adalah kunci, bukan teori semata.)
Meskipun ungkapan “tidak ada penulis hebat kecuali yang terlatih” bukan berasal dari satu nama terkenal, tapi semangatnya hidup dalam filosofi banyak penulis besar: kehebatan dalam menulis lahir dari ketekunan, bukan dari ilham semata.
Lalu, bagaimana ungkapan ini dimaknai oleh dua kelompok berbeda: mereka yang mencintai dunia literasi dan mereka yang masih memandangnya dari kejauhan?
Bagi pecinta literasi ungkapan itu sebagai sebuah dorongan yang membumi. Para penulis, pembaca setia, dan pegiat literasi, ungkapan ini terdengar seperti pengingat yang menguatkan: bahwa keahlian bukanlah milik segelintir orang berbakat, tapi bisa diraih siapa pun yang mau menempuh jalan panjang latihan. Ia menegaskan pentingnya proses, konsistensi, dan kerendahan hati. Bahkan mereka yang sudah lama berkecimpung, kalimat ini menyadarkan bahwa menulis tak pernah mengenal kata “selesai”—selalu ada yang bisa dipelajari, selalu ada yang bisa diperbaiki. Ini bukan sekadar kalimat, tapi suntikan semangat: bahwa ketekunan bisa melampaui bakat mentah.
Tetapi bagi mereka yang kurang minat literasi kalimat itu bisa menjadi penghalang atau justru pemantik.Di sisi lain, mereka yang belum dekat dengan dunia menulis, ungkapan ini bisa terasa berat. Jika dipahami secara keliru, seolah-olah menulis itu hanya untuk mereka yang punya waktu dan dedikasi tinggi. Akibatnya, bisa muncul rasa minder dan enggan mencoba. Namun, jika disampaikan dengan hangat dan membumi, justru ungkapan ini bisa menjadi pemantik: bahwa siapa pun, dari latar belakang apa pun, bisa menjadi penulis hebat asalkan mau belajar dan terus mencoba. Kuncinya terletak pada cara kita mengajak, bukan menghakimi. Jadikan kalimat ini bukan tembok, tapi jendela—untuk melihat bahwa menulis adalah sarana menemukan suara dan jati diri.
Bagi kita yang telah mencintai literasi, ungkapan ini adalah ajakan untuk terus melangkah, terus menajamkan pena. Bagi yang belum, ia bisa menjadi pintu masuk—asal ada tangan yang terulur, bukan yang menutup jalan. Cukup gerakkan jari-jari di atas papan ketik, dan biarkan kata-kata menemukan jalannya.
Selamat membaca dan menulis. Mari terus membaca dan menulis
*) Abdul Ghofur : Pimred dan Editor kendalmu.or.id
