KENDAL, KENDALMU.OR.ID – Pupuk kimia masih menjadi pilihan utama mayoritas petani di Kabupaten Kendal. Alasan utamanya sederhana: hasil cepat dan panen lebih pasti dibandingkan pupuk organik.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kendal, Pandu Rapriat Rogojati, menyebut faktor kecepatan hasil menjadi alasan kuat petani bergantung pada pupuk jenis ini.
“Kalau pupuk kimia ditabur sekarang, satu minggu kemudian sudah terlihat hasilnya. Sementara pupuk organik baru terlihat setelah sekitar sebulan,” jelas Pandu beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kondisi ini juga dipengaruhi karakter sebagian besar petani Kendal yang merupakan petani penggarap.
Dengan waktu dan tenaga terbatas, mereka cenderung memilih cara instan agar hasil panen tetap terjaga. “Petani ingin hasil cepat, sementara kemampuan serap pupuk organik memang lebih lama,” imbuhnya.
Meski begitu, Pandu menegaskan penggunaan pupuk organik jauh lebih aman dan ramah lingkungan. Namun peralihan dari pupuk kimia ke organik tidak bisa dilakukan mendadak.
“Semua butuh transisi. Kalau langsung penuh beralih ke organik, hasil panen bisa turun signifikan. Dari rata-rata 7 ton per hektare bisa merosot menjadi 2–3 ton, paling tinggi 4 ton,” paparnya.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan skema pemakaian pupuk berimbang, baik kimia maupun organik. Salah satunya melalui penyaluran pupuk subsidi agar petani lebih mudah menjangkau pupuk berkualitas. “Yang terpenting adalah mengubah mindset petani agar siap menyesuaikan diri ke depan,” tandas Pandu.
Di sisi lain, Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PDM Muhammadiyah Kendal, Agus Faroq Riyadi, menilai maraknya pupuk kimia tidak bisa dipandang remeh.
Menurutnya, isu ini menyangkut keberlanjutan lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kemandirian ekonomi petani.
“Pupuk kimia memang bisa meningkatkan hasil panen dengan cepat, tetapi jika dipakai terus-menerus tanpa kendali justru merusak tanah, mencemari air, bahkan mengancam kesehatan konsumen,” tegas Agus di sela acara Rakerda PD Muhammadiyah Kendal, Sabtu (27/9/2025)
Ia menambahkan, ketergantungan ini membuat petani semakin terikat pada produk pabrikan berbiaya tinggi, yang akhirnya menekan kesejahteraan mereka.
Sebagai solusi, MPM Muhammadiyah mendorong petani kembali pada pola pertanian ramah lingkungan. Alternatif yang ditawarkan antara lain pupuk organik, kompos, pupuk kandang, biofertilizer, hingga pemanfaatan sistem hayati dan tumpangsari.
“Kearifan lokal jangan ditinggalkan. Justru di situlah letak kemandirian petani,” ujarnya.
Tidak berhenti pada kritik, MPM aktif melakukan pendidikan dan pendampingan melalui sekolah lapang petani serta berbagai pelatihan. Upaya ini diarahkan agar petani berangsur beralih menuju pertanian sehat dan berkelanjutan.
Langkah tersebut juga selaras dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, yakni menjaga kelestarian alam demi kemaslahatan bersama.
Agus menekankan, pertanian tidak boleh lepas dari isu ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Hasil pangan yang minim residu kimia tentu lebih aman dikonsumsi.
“Petani tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Negara harus hadir mendukung arah pertanian yang sehat, mandiri, dan menyejahterakan,” pungkasnya. (fur)
