RINGINARUM, KENDALMU.OR.ID – “Jembatan rasa” bukan sekadar ungkapan indah, melainkan panggilan untuk menyambungkan kembali hati manusia yang mungkin telah terpisah oleh ego, salah paham, atau jarak.
Gagasan ini disampaikan dalam kajian bertema “Membangun Jembatan Rasa” yang mengajak umat Islam menumbuhkan empati, kasih sayang, dan cinta karena Allah dalam setiap hubungan antarinsan.
Dalam kajian tersebut, Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Darul Srqam 4 Ringinarum Kendal, Ustadz Muhammad Muhsin menjelaskan, jembatan rasa merupakan simbol hubungan hati antara orang tua dan anak, suami dan istri, guru dan murid, serta sesama manusia.
“Membangun jembatan rasa berarti menyambungkan hati yang jauh, menghapus jurang salah paham, dan menumbuhkan empati agar tercipta keharmonisan hidup,” ujarnya mengutip ayat Al qur’an Surat Ar-Rum ayat 21,
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang.”
Ayat ini, kata Ustadz Muhsin, menjadi dasar bahwa kehidupan manusia tidak dapat bertahan tanpa “rasa” — tanpa mawaddah (cinta yang aktif) dan rahmah (kasih sayang yang memaafkan).
Dalam penjelasan kajian tersebut, disebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan “jembatan rasa” sejati. Ia bukan hanya kitab hukum, tetapi juga kitab hati yang menuntun manusia memahami perasaan sendiri dan orang lain.
“Siapa yang ingin membangun jembatan rasa, harus terlebih dahulu menyambungkan dirinya dengan cahaya Allah — melalui Al-Qur’an dan zikir,” pesannya.
Dia menjelaskan, Rasulullah SAW pun dijadikan teladan utama dalam membangun empati. Beliau mendengar dengan hati, menegur dengan kasih, dan hadir dengan kelembutan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas ra., “Rasulullah SAW biasa bercanda dengan kami, berjabat tangan dengan kami, dan duduk bersama kami seolah beliau adalah salah satu dari kami.” (HR. at-Tirmidzi)
Lebih lanjut Ustadz Muhsin merinci ada tiga pilar utama dalam membangun jembatan rasa, yakni Mendengar sebelum menasihati, sebagaimana Allah mendahulukan sifat Maha Mendengar sebelum Maha Mengetahui dalam banyak ayat Al-Qur’an, Validasi, bukan menghakimi, meneladani kelembutan Rasulullah yang menegur tanpa mempermalukan, dan Menyentuh hati dengan doa dan zikir, karena doa adalah tali tak terlihat yang menyambungkan hati-hati yang jauh.
Pesan ini juga menekankan pentingnya penerapan jembatan rasa dalam berbagai aspek kehidupan. Di rumah, orang tua diajak untuk lebih mendengar perasaan anak sebelum menasihati, sementara anak diajak memahami cinta dan lelah orang tua. Di sekolah, guru dituntun untuk mendidik dengan kasih, dan murid untuk belajar dengan cinta. Di masyarakat, pemimpin dan rakyat diharapkan saling memahami, bukan saling menuntut.
“Peradaban sejati tidak dibangun oleh besar dan megahnya bangunan, tetapi oleh lembutnya hati manusia di dalamnya,” terangnya.
Kepala SMP Muhammadiyah 9 Gemuh, Siti Allifah Jaoharoh, menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah mendukung proses pendidikan di sekolah dan pesantren.
“Alhamdulillah kita berkumpul dalam keadaan sehat. Terima kasih kepada Mudir, guru, panitia, dan terutama para santri,” ujarnya.
Ia menegaskan, tema “Membangun Jembatan Rasa” menjadi pengingat penting bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, rumah, dan pesantren.
“Hari ini kita sedang merancang langkah bersama agar hasil belajar anak-anak terhubung dengan pembinaan adab dan akhlak,” jelasnya.
Siti Allifah berharap pertemuan tersebut dapat mempererat komunikasi dan kerja sama antara guru dan wali santri.
“Semoga kegiatan ini membuka ruang komunikasi, memberi solusi konkret, dan memperkuat ukhuwah di antara kita,” tambahnya. (din)
Kontributor : Muhammad Khoerudin