Oleh Sulis Mardiyono
Perjalanan kami ke Blora awalnya hanya untuk menghadiri Rakorwil Lazismu Jateng. Namun, di sela padatnya agenda, ada langkah yang membawa kami menuju sebuah persinggahan berharga: Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo.
Di sana, kami berjumpa dengan komunitas Sedulur Sikep Samin Karangpace, sebuah masyarakat adat yang menyimpan kearifan hidup sekaligus keunikan budaya.
Sekilas, kehidupan mereka mengingatkan pada masyarakat Badui di Jawa Barat. Sederhana, bersahaja, dan teguh menjaga tradisi.
Mereka bukan sekadar komunitas adat biasa, melainkan pewaris ajaran Samin Surosentiko, seorang tokoh yang pada akhir abad ke-19 menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan kesederhanaan sebagai perlawanan terhadap kolonialisme sekaligus panduan hidup bermasyarakat.
Di Karangpace, ajaran itu tidak hanya diingat, melainkan dihidupi dalam keseharian. Sedulur Sikep Samin meyakini agama Adam, dengan ritual sembahyang pagi dan senja yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta.
Namun, dalam perkembangannya, komunitas Samin Karangpace kini mengidentifikasi diri sebagai Muslim dalam kehidupan sosial dan administratif, meski masih menjaga filosofi “Agama Adam” sebagai warisan leluhur. Namun, dalam perkembangannya komunitas ini diIslamkan di era Presiden ke 6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sehingga kini Komunitas Samin Karangpace mengidentifikasi diri sebagai Muslim dalam kehidupan sosial dan administratif, meski masih menjaga filosofi “Agama Adam” sebagai warisan leluhur.
Hubungan manusia dengan alam ditempatkan pada posisi yang luhur. Alam bagi mereka bukan sekadar tempat hidup, melainkan sahabat yang harus dijaga keseimbangannya.
Kami sempat berbincang dengan sesepuh komunitas Sikep Karangpace, Eko.
Dari tutur katanya yang tenang, tergambar bahwa kehidupan Sedulur Sikep Samin adalah kehidupan yang penuh ketulusan. Mereka dikenal jujur, ramah, dan pantang menyerah dalam bekerja.
Pendidikan bagi anak-anak mereka tidak hanya soal baca-tulis, tetapi juga tentang nilai cinta kasih, kekeluargaan, dan gotong royong. Inilah pendidikan sejati, yang tidak hanya membentuk cerdas, tetapi juga berkarakter.
Pertanian menjadi nadi kehidupan. Sawah, ladang, dan ternak di alam terbuka mereka kelola dengan etika yang diwariskan turun-temurun. Prinsipnya sederhana: jangan serakah, ambil seperlunya, dan sisakan untuk generasi berikutnya. Dengan cara itu, tanah tetap subur, air tetap mengalir, dan kehidupan terus berlanjut tanpa merusak keseimbangan alam.
Singkatnya, perjumpaan kami dengan Sedulur Sikep Samin adalah perjumpaan dengan cermin kehidupan yang jernih. Di tengah gemerlap dunia modern yang seringkali mengaburkan nilai kejujuran dan kesederhanaan, mereka tetap teguh menjaga warisan leluhur. Apa yang bagi kita tampak sederhana, bagi mereka justru menjadi inti dari kebahagiaan: hidup apa adanya, bekerja dengan jujur, dan menjaga harmoni dengan alam.
Persinggahan singkat itu meninggalkan kesan mendalam. Sedulur Sikep Samin seakan mengajarkan pada kita, bahwa dalam kehidupan yang serba cepat ini, ada baiknya sesekali kita kembali pada hal-hal yang hakiki: kejujuran, kesederhanaan, dan kerja keras. Dari Blora, pesan itu terpatri, menjadi pengingat bahwa kearifan lokal sesungguhnya adalah cermin bagi kemanusiaan universal.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam perspektif Muhammadiyah, Sedulur Sikep adalah komunitas yang memiliki nilai luhur, tetapi belum sempurna dalam hal aqidah dan ibadah. Muhammadiyah menghargai kejujuran dan kesederhanaan mereka, sekaligus merasa terpanggil untuk mengarahkan nilai-nilai tersebut ke dalam bingkai tauhid. Pendekatannya bukan memusuhi, melainkan dakwah kultural yang merangkul dan mencerahkan.
Sulis Mardiyono, S.Pd.I, Sekretaris Lazismu Daerah Kendal dan Peserta Rakorwil Lazismu Jateng di Blora
