Oleh : Tandang Suryanto*)
Tergelitik sebuah diskusi dengan teman di sebuah warung kopi di Weleri Kendal tentang indahnya carut marut politik, hukum, ekonomi, budaya, dan seterusnya. Temanku, sahabatku, saudaraku KS menanyakan: “kok gak pernah menulis tentang pendidikan?”
Lalu aku berpikir 35 tahun lalu. Saat aku menjadi guru, pendidik. Lembar demi lembar aku buka memori mendidik anak-anak SMP Negeri di sebuah kecamatan yang agraris.
Sebuah hal yang fundamental di setiap awal tahun ajaran baru. Sebagai bagian dari pemetaan siswa baru, saya selalu mengajukan satu pertanyaan: “Apa cita-cita kamu?”.
Setiap tahun ajaran baru terdapat 7 kelas. Artinya 7×30 = 210 orang siswa.
Secara demografis, orang tua murid –sekitar 40-50%– bekerja sebagai petani: pemilik lahan dan buruh tani. Lainnya bekerja sebagai buruh pabrik, perangkat desa, PNS dan swasta.
Hal yang memilukan dan tragis menurut saya adalah setiap tahun ajaran baru. Ketika saya tanyakan: “Apa cita-citamu?”. Tidak ada 10 persen siswa yang menjawab bercita-cita menjadi Petani.
Selama bertahun tahun kesimpulan jawaban masih tetap sama. Dan mungkin kalau dilakukan survey sekarang kepada siswa di NKRI, kesimpulannya tetap sama.
Kenapa saya harus menanyakan cita-cita?
Karena cita-cita adalah keinginan, harapan jiwa yang terdalam dari seorang anak.
NKRI adalah negara agraris. Dan ketika anak-anak bangsa di dalam jiwanya yang paling agung mendeklarasikan cita- cita yang berlawanan dengan natural environment, maka apakah anak-anak yang masih lugu ini salah dalam bercita cita?. Apakah ini bukan sebuah
ancaman bagi NKRI masa depan?.
Bangsa ini telah mencerabut dan memisahkan anak- anak keluar dan menjauh dari lumpur-lumpur sawah agraris. Tidak respect dan posesif pada nilai- nilai alam yang telah melahirkan anak-anak bangsa.
Bagaimana mungkin akan melahirkan out put yang berintegritas, bermoral, beradab dan beretika kalau sejak awal (in-put) anak- anak sudah diajari tidak berintegritas dengan alam lingkungannya.
Pendidikan nilai-nilai dasar (respek lingkungan dan sosial) sangat penting. Karena membentuk karakter, moral dan etika siswa agar menjadi individu yang berintegritas. Serta mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global yang kompleks seperti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan perubahan budaya.
Hal ini tidak hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun kepribadian yang utuh, meningkatkan kecerdasan emosional, menanamkan tanggung jawab sosial serta rasa cinta tanah air.
Adakah Penguasa yang masih cinta tanah dan air?.
Kurikulum dibuat untuk mempersiapkan “onderdil-onderdil” yang profesional bagi kepentingan oligarki dan kapitalis.
Tidak akan mungkin melahirkan para pemberontak- pemberontak, karena in-putnya sudah dikebiri dengan anti integritas secara hakekat.
Apakah sesederhana itu tujuan pendidikan NKRI dalam sebuah fakta?.
Ada sebuah adagium, sekolah adalah “agent of change” (agen perubahan). Hanyalah sebuah Paradoks Pendidikan di NKRI.
NKRI adalah rumah besar. Seorang chef (tukang masak) bisa membuat bermacam masakan atau menu berupa onderdil, budak, kuli, penghianat, penjilat, penjual bangsa, tukang kredit dan debt collector.
Jangan salahkan Jokowi, sebab ini sebuah sistem. Semua telah menjadi korban. NKRI harus berubah jika kita mau berevolusi berubah. Kalau kita mau berevolusi hati dan pikir.
Mohon maaf kalau salah. Jangan salahkan Amien Rais, Mahfud MD, Trio Teroris, Gus Nur, Bambang Tri, Purnawirawan Jenderal, Bambang Tri, Kapolri, dan sebagainya. Dan jangan salahkan ijazah-nya Jokowi.
Sebab kita semua salah dalam sebuah rumah besar NKRI. Kebenaran hanya dari Allah.
Nun walqolami wama yasthurun.
16 Oktober 2025
*)Pensiunan Guru ASN, Mantan Aktivis IPM/PM Kendal