Oleh Gofur Al Kendali
Pagi itu, embun masih enggan pergi dari dedaunan di halaman rumah. Di meja kayu dekat jendela, Layla menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Di sana, dunia bersuara tanpa jeda—tentang gaya hidup, tren kecantikan, gosip selebriti, dan debat yang tak berkesudahan. Semua serba cepat, serba viral, serba ingin diakui.
Namun di sela derasnya informasi itu, ia justru merasa sepi. Seperti hidup di tengah pasar yang ramai tapi tak mengenal siapa pun.
Layla, kader aktif Nasyiatul ‘Aisyiyah Cabang Brangsong, baru dua tahun bergabung sejak kuliah. Ia ingat betul, ketika pertama kali diajak oleh kakak pembinanya:
“Bergabunglah dengan Nasyiah. Di sana, kamu belajar menjadi perempuan yang tidak hanya bersuara, tapi juga bermakna.”
Kini, di tengah hiruk pikuk media digital, kata-kata itu terasa menantang sekaligus membebani. Sebab, dunia digital bukan lagi sekadar tempat mencari informasi, melainkan medan baru perjuangan.
Siang itu, Layla menghadiri rapat daring PDNA Kendal. Di layar Zoom, tampak wajah-wajah muda dengan semangat yang tak kalah dari para pejuang masa lalu.
Mereka membahas Gerakan Keluarga Muda Tangguh dan tantangan perempuan muda dalam dunia digital.
“Media sosial hari ini seperti pisau bermata dua,” kata Farisa, salah satu pengurus daerah. “Bisa jadi sarana dakwah dan edukasi, tapi juga bisa menjatuhkan citra diri dan mengikis nilai.”
Layla mendengarkan dengan saksama. Ia tahu, itu benar. Banyak temannya terjebak dalam dunia maya—mengejar likes, validasi, dan pengakuan yang semu. Ia sendiri pun pernah hampir terseret ke sana.
Dulu, ketika unggahannya tentang kegiatan sosial Nasyiah hanya mendapat segelintir tanggapan, ia sempat berpikir untuk berhenti membuat konten dakwah.
“Percuma,” gumamnya waktu itu, “yang viral malah yang joget atau drama.”
Namun malam itu, saat membuka pesan di Instagram, ia membaca DM dari seorang remaja perempuan:
“Kak Layla, aku baca postingan kakak tentang perempuan tangguh. Aku jadi semangat lagi buat lanjut kuliah. Terima kasih, ya.”
Pesan singkat itu membuat Layla terdiam lama. Ia sadar, dakwah di dunia digital mungkin tak ramai, tapi bisa menyentuh hati yang sunyi.
Sejak hari itu, Layla mengubah arah langkahnya. Ia belajar membuat konten yang bukan hanya indah dilihat, tapi juga bermakna.
Ia membuat seri pendek berjudul “Catatan Perempuan Muda”—tentang Cinta yang dirahmati (pernah tayang di kendalmu.o.id), keluarga yang seimbang, dan semangat perempuan berkemajuan.
Ia menggunakan pendekatan ringan: video satu menit dengan narasi lembut dan kutipan Al-Qur’an. Setiap unggahan disertai tagar #NasyiahBergerak #PerempuanTangguh. Tak perlu banyak efek, yang penting hati sampai.
Ternyata, konten itu mulai mendapat perhatian. Banyak ibu muda dan remaja menandainya, bahkan mengundang Layla untuk berbagi pengalaman dalam forum daring.
“Ini bukan tentang viral,” ujarnya pada teman-temannya di Nasyiah.
“Ini tentang keberlanjutan makna. Media digital bisa jadi ladang dakwah, asal kita menanam dengan kesungguhan,” ucapnya
Namun perjuangan Layla tak selalu mudah. Komentar sinis datang dari beberapa teman kampus: “Ah, sok bijak. Tiap hari nasihat di medsos.” “Kalau mau ceramah, jadi ustadzah sekalian aja.”
Layla hanya tersenyum. Ia tahu, setiap perjuangan punya harga. Ia menenangkan diri dengan mengingat maqalah yang pernah disampaikan ustadzahnya:
“Perempuan yang berjuang di jalan kebaikan tak perlu selalu disorot. Cukup Allah yang tahu arah langkahnya.”
Malam-malamnya kembali diisi dengan membuat konten, menulis refleksi, dan berdiskusi dengan rekan Nasyiah tentang isu perempuan muda, stunting, dan ketahanan keluarga.
Di antara layar yang bercahaya itu, ia merasakan sesuatu tumbuh dalam dirinya—ketenangan.
Suatu sore, dalam pertemuan rutin Nasyiah di aula PCM Brangsong, Layla berdiri di depan para kader muda. Suaranya lembut, tapi penuh keyakinan.
“Kita hidup di zaman di mana jari-jemari bisa jadi alat dakwah. Tapi jangan lupa, sebelum menulis di layar, pastikan hati kita bersih. Karena kata yang lahir dari hati, akan sampai ke hati.”
Semua yang hadir terdiam, lalu bertepuk tangan pelan.
Dalam wajah-wajah itu, Layla melihat semangat yang sama: semangat untuk terus menyalakan cahaya, sekecil apa pun.
Di jalan pulang, Layla menatap langit senja yang bergradasi jingga. Di tangannya, ponsel terus menyala—bukan lagi sekadar alat hiburan, melainkan ladang kebaikan yang ia rawat setiap hari.
“Perjuangan perempuan hari ini mungkin tak lagi di medan perang,” pikirnya, “tapi di ruang digital, di antara notifikasi dan komentar, di antara kesunyian dan kesadaran.”
Layla tersenyum. Ia tahu, selagi niatnya tulus, cahaya kecil dari layar itu akan terus menyala, menembus gelap zaman.
Dan di sanalah, perjuangan Nasyiah menemukan bentuk barunya—di layar kecil, tapi dengan langkah yang panjang.
Ndagong, Medio September 2025