Cerpen Gofur Al Kendali
Pagi itu embun masih enggan pergi dari helai daun padi. Dari kejauhan, terdengar suara lelaki paruh baya melantunkan ayat suci dengan suara lirih, mengalun di antara desir angin dan kepakan burung pipit.
Dialah Samin (bukan komunitas di Blora), tapi Pak Samin, begitu warga memanggilnya, adalah petani kecil dari Desa Wonosari, yang sudah tiga puluh tahun menanam padi di sawah yang tak pernah luas, tapi selalu penuh harapan.
Setiap Subuh, sebelum matahari menyembul di balik bukit, Pak Samin sudah menapaki pematang.
Di pundaknya tergantung cangkul yang telah menua, sementara di hatinya tertanam keyakinan yang tak pernah luntur: “Bertani adalah ibadah, sepanjang diniatkan untuk menafkahi keluarga dengan cara yang halal.”
Pak Samin bukan sekadar petani. Di kampungnya, ia dikenal pula sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah.
Setiap malam Jumat, rumah sederhananya berubah menjadi tempat pengajian kecil. Ia tak pandai berceramah, tapi tutur katanya selalu hangat dan menembus hati.
“Orang Muhammadiyah itu harus rajin bekerja, ikhlas, dan tidak bergantung pada belas kasihan,” ucapnya suatu malam saat menutup pengajian.
“Kalau kita petani, maka sawah ini juga ladang dakwah. Di sini kita belajar sabar, belajar syukur, dan belajar tawakal.”
Anak-anak muda di kampung sering menjadikannya teladan. Walau hanya memiliki sepetak sawah, Pak Samin tak pernah ketinggalan menyumbang ketika ada kegiatan Persyarikatan — entah itu untuk santunan yatim, peringatan Milad Muhammadiyah, atau pembangunan musala di dusun sebelah.
“Sedikit asal ikhlas lebih berarti daripada banyak tapi riya,” katanya sambil tersenyum, menyerahkan amplop kecil kepada bendahara ranting.
Namun kehidupan petani tak selalu hijau seperti daunnya. Musim kemarau datang terlalu panjang tahun itu.
Padi yang baru separuh tumbuh mulai mongering. Pengairan di tepi sawah airnya telah surut. Pak Samin hanya bisa menatap hamparan sawahnya yang retak, seperti kulit bumi yang haus.
Tetangga-tetangga mulai putus asa. Ada yang menjual sawah, ada pula yang memilih pergi merantau. Tapi Pak Samin tetap bertahan. Ia percaya, tanah yang digarap dengan ikhlas tak akan mengkhianati doa.
Suatu sore, saat matahari mulai condong ke barat, ia duduk di pematang, memandangi langit yang berwarna jingga. Dari saku bajunya, ia keluarkan tasbih kayu yang sudah kusam. Butir demi butir berpindah di jemari tuanya, sementara bibirnya bergetar lirih, “Hasbunallahu wa ni’mal wakiil…”
Beberapa hari kemudian, awan gelap datang dari arah utara. Hujan turun deras disertai angin, membasahi tanah yang kering, menumbuhkan kembali tunas-tunas harapan.
Malam itu, di tengah gemericik hujan, Pak Samin bersujud lama di musala kecilnya. Ia tak meminta apa pun, hanya berterima kasih.
Musim panen tiba. Hasilnya tak seberapa — tak cukup untuk membeli motor baru atau memperbaiki rumah. Tapi wajahnya berseri.
Dari karung padi yang dikumpulkan, ia sisihkan satu sak untuk program Jumat Berkah yang digerakkan oleh Pemuda Muhammadiyah setempat.
“Alhamdulillah, tahun ini bisa berbagi lagi,” katanya pelan.
Ketika ditanya dari mana semangatnya tak pernah padam, Pak Samin hanya menjawab sederhana,
“Saya hanya menanam, Nak. Yang menumbuhkan dan memberi panen itu Allah. Saya petani, tapi juga kader Muhammadiyah. Keduanya mengajarkan hal yang sama: bekerja dengan iman, berbuat dengan ikhlas.”
Dan pagi-pagi berikutnya, suara tilawahnya kembali terdengar di tengah kabut tipis sawah tua. Suara yang mungkin sederhana, tapi menumbuhkan sejuk di hati setiap yang mendengar — seperti embun yang tak pernah lelah singgah di pucuk padi.
Ngampel, 5 Oktober 2025