Oleh A. Gofur Al Kendali
Pak Kasan. Begitu ia dipanggil di komunitas peternak kambing. Lelaki berusia empat puluh lima tahun itu sudah dua belas tahun bergelut dengan dunia per-wedus-an. Orang-orang desa menjulukinya Kyai Wedus. Bukan karena ia ahli mengaji kambing, melainkan karena wajahnya nyaris selalu muncul di setiap acara yang ada hubungannya dengan kambing. Mau lomba kambing? Ada Pak Kasan. Mau pengajian dengan hadiah kambing? Ada Pak Kasan. Bahkan kalau ada kambing hilang, orang pertama yang dicurigai untuk ditanya-tanya ya Pak Kasan.
Meski begitu, sukses yang diimpikannya belum juga datang. “Katanya ternak kambing bisa bikin kaya. Lha, aku kok baru kaya pengalaman ya?” gumamnya suatu sore, sambil menatap kandang yang lebih mirip rumah kontrakan ketimbang kandang hewan.
Kambing-kambingnya pun seolah paham penderitaan tuannya. Ada saja ulah mereka. Ada yang hobi kabur, ada yang doyan rumput tetangga, sampai yang paling bandel: suka selingkuh dengan kambing sebelah milik tetangganya.
“Wedusmu iki lho, San, ndak iso diatur!” omel Bu Karyo, tetangganya.
Pak Kasan hanya bisa nyengir kuda—eh, nyengir kambing.
Namun, di balik semua itu, Pak Kasan punya filosofi hidup sederhana: “Ora usah mikir akeh-akeh, sing penting kambing mangan, aku mangan, wis.”
Prinsip itu membuatnya tetap tenang meski hasil ternak belum seperti yang diidamkan.
Lucunya, komunitas peternak kambing menjadikan Pak Kasan semacam “ustadz darurat”. Bukan karena ia ahli agama, tapi karena tiap kali ada masalah kambing, solusinya sering terdengar seperti wejangan bijak.
“Wedusmu kok lemu-lebu,San. Carane piye ben gemuk?” tanya seorang pemuda.
“Ya kowe ojo kurus atine. Sing ngopeni wedus kuwi kudu legawa, ben weduse wareg.”
Kalimat itu tentu tak ada dalam buku panduan peternakan mana pun, tapi entah kenapa para anggota komunitas manggut-manggut seperti habis mendapat pencerahan.
Suatu sore, Pak Kasan menerima kabar mengejutkan. Ia diundang oleh Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Ustadz Faroq.
“Kyai Kasan, njenengan kulo ajak rapat bareng komunitas pemberdayaan masyarakat tingkat kabupaten,” katanya.
Kasan agak terperanjat. Biasanya ia cuma rapat di warung kopi, membahas kambing dan cicilan utang pupuk. Tapi kali ini ia duduk bareng dengan komunitas jamur tiram, petani beras organik, sampai kelompok pengusaha alpukat.
Saat tiba gilirannya memperkenalkan diri, Pak Kasan maju dengan percaya diri.
“Saya iki peternak kambing. Wong-wong desa biasa nyebut aku Kyai Wedus. Ora ngerti napa,” ucapnya sambil garuk kepala. Ruangan pun meledak tawa.
Ustadz Faroq lalu memuji cara Kasan beternak. Ternyata ia dianggap unik karena tidak pernah ngarit.
“Bapak-bapak, cara Pak Kasan ini luar biasa. Pakan fermentasi, konsentrat, dan rumput sendiri ditanam dekat kandang. Weduse gemuk-gemuk meski pemiliknya kurus-kurus,” canda Faroq yang langsung disambut gerr.
Pak Kasan nyengir. Dalam hati ia bangga, ternyata kemalasannya ngarit malah dianggap inovasi.
Rapat pun berlanjut. Banyak istilah aneh-aneh muncul: ekosistem ekonomi berkelanjutan, sinergi komunitas, green farming. Kepala Pak Kasan mendadak pening. Baginya semua itu terdengar seperti bahasa planet lain.
Akhirnya ia tak tahan. Dengan polos, ia angkat tangan.
“Maaf, aku kok bingung, Pak Faroq. Iki rapat kok rasane ngalor ngidul ae, aku mung ngerti separo. Iki piye maksude?”
Peserta rapat mendadak terdiam. Lalu pecah tawa ketika Kasan melanjutkan dengan polos:
“Terus niki lho… Jambore Jatam kuwi opo? Jenenge kok koyo merek obat batuk?”
Mas Imam yang sedang menulis notula langsung terhuyung menahan tawa. Ustadz Faroq sampai menepuk jidat. Suasana rapat jadi riuh.
Setelah tawa mereda, Faroq menjelaskan bahwa Jambore Jatam adalah ajang pertemuan besar para pegiat pemberdayaan masyarakat se-Indonesia. Ada pameran produk, lomba kreativitas, sampai seminar.
Mendengar itu, mata Pak Kasan berbinar.
“Lha nek ngono aku kudu melu! Biar wedus-wedusku ngerti rasane mlebu acara gedhe. Sopo ngerti, wedusku iso selfie bareng pejabat,” katanya enteng, membuat peserta rapat kembali tertawa.
Hari itu, rapat ditutup dengan keputusan bahwa komunitas kambing akan ikut serta. Pak Kasan pulang dengan wajah berseri. Di sepanjang jalan, ia sudah membayangkan wedus-wedusnya berjejer rapi di stan pameran, mungkin diberi pita warna-warni.
“Wedus, siap-siap yo. Kowe kabeh arep tak ajak Jambore Jatam!” serunya sambil menunjuk ke arah kandang.
Kambing-kambingnya pun mengembik ramai-ramai. Entah setuju, entah protes, atau sekadar minta rumput tambahan.
Ngampel, 23 Agustus 2025
