Close Menu
  • Profil
    • PDM Kendal
      • Struktur Organisasi
      • Sejarah
    • Majelis
    • Lembaga
    • Organisasi Otonom
    • Amal Usaha
  • Artikel
    • Kesehatan
    • Opini
    • Pendidikan
    • Berita
  • Kemuhammadiyahan
    • Dakwah
    • Khazanah
    • Ukuwah
  • Editorial
  • Penerbitan Buku
Berita Terbaru

Jerit Tanpa Suara

Oktober 15, 2025

Lazismu Pageruyung Salurkan Zakat Produktif untuk 11 Pelaku UMKM: Dari Mustahik Menuju Muzakki”

Oktober 14, 2025

Zakat Produktif Muhammadiyah Tlangu: Dari Lima Kandang Ayam, Lahir Semangat Kemandirian Umat

Oktober 14, 2025
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Redaksi
  • Daftar
  • Login
Facebook Instagram YouTube WhatsApp Telegram
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal
Daftar
  • Profil
    • PDM Kendal
      • Struktur Organisasi
      • Sejarah
    • Majelis
    • Lembaga
    • Organisasi Otonom
    • Amal Usaha
  • Artikel
    1. Kesehatan
    2. Opini
    3. Pendidikan
    4. Berita
    5. View All

    Masih Nuasa Milad Ke 112 Muhammadiyah, AUM Pendidikan di Kendal Lakukan Jumsih

    November 22, 2024

    Tim Marketing Pondok DA 4 Caruban Kunjungi Elementary School Di Luar Kota.

    November 22, 2024

    Tingkatkan Kualitas Jurnalis, MPI PP Muhammadiyah Gelar AJM

    November 22, 2024

    Senam Sehat Ceria LDK PDM Kendal: Tua Itu Pasti, Sehat Adalah Pilihan

    Agustus 21, 2023

    Meneguhkan Gerakan Keluarga Muda Tangguh: Nasyiatul ‘Aisyiyah Menjawab Tantangan Perempuan Masa Kini

    Oktober 13, 2025

    KOKAM 60 Tahun: Tangguh, Bersinergi, Menjaga dan Membangun Negeri

    Oktober 1, 2025

    Kesaktian Pancasila dalam Bingkai Darul Ahdi wa Syahadah

    September 30, 2025

    Tragedi G30S/PKI dalam Perspektif Pelajaran Al Islam dan Kemuhammadiyahan

    September 30, 2025

    Irwan Aqib: Tanpa Akhlak, Ilmu Kehilangan Arah

    Juni 1, 2025

    Sofyan Anif: Pendidikan Muhammadiyah Bukan Sekadar Transfer Ilmu, Tapi Transformasi Nilai

    Mei 13, 2025

    Dari Mengelola ke Mengembangkan: Saatnya Sekolah Muhammadiyah Melompat Lebih Tinggi

    April 11, 2025

    Tim Marketing Pondok DA 4 Caruban Kunjungi Elementary School Di Luar Kota.

    November 22, 2024

    Lazismu Pageruyung Salurkan Zakat Produktif untuk 11 Pelaku UMKM: Dari Mustahik Menuju Muzakki”

    Oktober 14, 2025

    Zakat Produktif Muhammadiyah Tlangu: Dari Lima Kandang Ayam, Lahir Semangat Kemandirian Umat

    Oktober 14, 2025

    Bayar PBB Kini Bisa Lewat Gawai, Pemkab Kendal Gandeng Bank Mandiri Wujudkan Layanan Pajak Digital

    Oktober 14, 2025

    Menjaga Kondusifitas dari Hati: Pemkab Kendal Gelar Sosialisasi Kewaspadaan Dini di Desa Pakis

    Oktober 14, 2025

    Jerit Tanpa Suara

    Oktober 15, 2025

    Lazismu Pageruyung Salurkan Zakat Produktif untuk 11 Pelaku UMKM: Dari Mustahik Menuju Muzakki”

    Oktober 14, 2025

    Zakat Produktif Muhammadiyah Tlangu: Dari Lima Kandang Ayam, Lahir Semangat Kemandirian Umat

    Oktober 14, 2025

    Bayar PBB Kini Bisa Lewat Gawai, Pemkab Kendal Gandeng Bank Mandiri Wujudkan Layanan Pajak Digital

    Oktober 14, 2025
  • Kemuhammadiyahan
    1. Dakwah
    2. Khazanah
    3. Ukuwah
    4. View All

    Makna Adzan sebagai Seruan Persatuan Umat: Kajian Ahad Pagi PCM Ngampel Bersama Ust. Musthofa

    Agustus 4, 2025

    Munafik dan Mukhlis: Cermin Kontras Kehidupan yang Terungkap dalam Al-Baqarah

    Juli 25, 2025

    Syahdu di Pagi Ahad: Menguatkan Tauhid dan Iman kepada Hari Akhir di Halaman Panti Yatim Muhammadiyah Boja

    Juni 1, 2025

    Ustadz Jumari Al Ngluwari Tekankan Pentingnya Tiga Nilai Akhlak Mulia: Pemaaf, Menyeru Kebaikan, dan Menjauhi Orang Jahil

    Mei 16, 2025

    Kapal Mendoan, Warisan Rasa dari Tanah Kebumen

    September 20, 2025

    PCM Ngampel Ingatkan Kader: Jangan Gagal Paham Soal Muhammadiyah

    Agustus 11, 2025

    Tiga Titik Cahaya Muhammadiyah: Dari Kampung Kecil di Yogyakarta Menyinari Nusantara hingga Dunia

    Agustus 9, 2025

    Pancasila sebagai Pedoman Moral dan Ideologis Bangsa

    Juni 1, 2025

    SAMBUT MILAD, MUHAMMADIYAH GELAR LOMBA FACHRODIN AWARD

    Agustus 29, 2023

    Bupati Kendal Beri Hadiah Umroh 2 Security Muhammadiyah, Berangkat Bergabung Jamaah Arrahmah Tour

    Agustus 19, 2023

    Rayakan HUT RI Ke 78, Pegawai Komplek Gedung PDM Kendal Gelar Jalan Sehat dan Lomba

    Agustus 19, 2023

    Sukses Gelar Musyawarah Cabang Aisyiyah Brangsong, Tetapkan Siti Rofingah sebagai Ketua

    Agustus 16, 2023

    Jerit Tanpa Suara

    Oktober 15, 2025

    Lazismu Pageruyung Salurkan Zakat Produktif untuk 11 Pelaku UMKM: Dari Mustahik Menuju Muzakki”

    Oktober 14, 2025

    Zakat Produktif Muhammadiyah Tlangu: Dari Lima Kandang Ayam, Lahir Semangat Kemandirian Umat

    Oktober 14, 2025

    Bayar PBB Kini Bisa Lewat Gawai, Pemkab Kendal Gandeng Bank Mandiri Wujudkan Layanan Pajak Digital

    Oktober 14, 2025
  • Editorial
  • Penerbitan Buku
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal
Cerpen

Jerit Tanpa Suara

RedaksiRedaksiOktober 15, 2025011 Mins Read
Ilustrasi Suara Muhammadiyah
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Cerpen : Giska Rizky Khoirunisa

Ibu dikenal banyak orang—dikenal sebagai penulis yang gagal. Begitu kata orang- orang, kata Ayah, bahkan kata Riuh sendiri. Namun laki-laki berhidung bangir itu pernah mengatakannya jauh sebelum Ibu meninggal, juga sebelum Riuh menemukan secarik kertas janggal.

Desas-desus negatif mengudara di antara para tetangga. Mereka tak segan melibatkan Riuh dalam olok-olok, menjadikannya pelampiasan rasa malu terhadap karya-karya Ibu. Riuh ingat betul bagaimana tulisan Ibu dicap sebagai sampah yang dipelihara, aib yang diumbar, dan halaman-halaman hina yang seharusnya tak pernah eksis.

Klaim itu diamini Ayah tanpa ragu. Di rumah, dialah orang nomor satu yang menentang cita-cita Ibu. Bagi Riuh, semua itu semula bukan masalah. Tetapi semakin keras Ayah melarang, semakin gigih pula Ibu menulis. Bentakan dan cacian menjadi santapan sehari-hari.

Namun, ada hari yang membekas: hari ketika harga diri Riuh diinjak-injak seperti rumput liar di tepi jalan. Dia mengadu dengan suara tercekat,

“Bisakah Ibu berhenti? Aku dihina atas nama Ibu! Aku ingin Ibu berhenti menulis hal-hal memalukan!”

Ibu hanya tersenyum teduh. Senyum itu seperti sakura yang merekah pada musim semi, indah sekaligus menyakitkan.

“Ibu senang mendengarnya,” jawabnya lembut, “berarti karya Ibu berhasil.”

Jawaban itu menusuk dari titik buta. Amarah Riuh meledak. Berkali-kali ia meminta Ibu berhenti menulis. Namun justru sebaliknya—karya-karya baru terus lahir. Riuh menahan malu, menutup telinga, hingga akhirnya turut menjadi bagian dari para pembenci—tulisan— Ibu.

Kini napas Riuh tercekat. Tata letak perabotan rumah masih sama, tetapi atmosfer asing melingkupi ruangan. Sejak Ibu pergi, kekosongan merayap ke setiap sudut. Senyap. Tak ada lagi perdebatan, tak ada lagi suara yang ditentang.

Dalam sepi itu, Riuh temukan pada secarik kertas di laci meja kerja Ibu. Tulisan tangan sederhana, rapuh, namun bertenaga. Riuh benci mengakui ini. Memercayai argumen Ayah tanpa mengindahkan sedikit pun suara Ibu, merupakan sesuatu yang dikhawatirkan akan menjadi penyesalan terbesar bagi dirinya kelak.

Pagi itu begitu tenang. Matahari menyorot lembut dari sela jendela dapur, menyentuh meja makan yang tak lagi seramai dulu. Di hadapan secangkir kopi yang mulai mendingin, Ayah duduk membisu, matanya terpaku pada layar ponsel.

“Ayah benci tulisan Ibu. Tapi … pernahkah Ayah membacanya?” tanya Riuh perlahan. Ayah tak mengalihkan pandangannya. “Tak perlu. Melihat pun tak sudi.”

Riuh menatapnya lekat. “Kalau begitu, bagaimana bisa Ayah membenci, padahal membaca pun enggan?”

Tak ada yang tahu apa tepatnya yang membuat Ayah akhirnya menengadah. Tatapannya dingin, mengirim serpihan kebencian yang tak kasat mata ke arah anaknya. Tatapan itu—Riuh mengenalnya. Tatapan yang sama yang dulu ditujukan pada Ibu.

Seringai tipis menyelip di wajah Ayah. “Wanita itu sudah mati. Untuk apa kau membahasnya? Bukankah kau harusnya senang?”

Napas Riuh tertahan. Ada sesuatu yang terbakar dalam dadanya. “Senang?” gumamnya. “Ayah senang karena telah menyakiti Ibu hingga akhir hayatnya?” Tangannya mengepal di atas meja, tak peduli pria di hadapannya adalah suami ibunya—atau ayah kandungnya sendiri.

“Kau …” Suara Ayah meninggi, tubuhnya condong ke depan. “Sejak kapan kau membela ibumu? Kau tahu apa isi tulisan itu? Aib! Hanya sampah penuh luka dan kebohongan!”

“Tulisan Ibu memang tentang luka!” tegas Riuh, tenang namun menohok. “Tapi bukan kebohongan.”

Cangkir di tangan Ayah terhempas ke meja. Suara pecahnya melengking, membentur dinding-dinding dapur yang selama ini menyimpan ribuan sunyi. Serpihan kaca dan ampas kopi berhamburan, seperti sisa-sisa percakapan yang dulu tak pernah selesai.

Namun Riuh tak bergeming. Bahkan tidak terkejut. Sosok di hadapannya bukan lagi Ayah yang dia kenal—melainkan bayangan keras yang dulu selalu membungkam suara Ibu.

“Asal Ayah tahu,” ungkap Riuh, kali ini dengan suara rendah namun tajam, “para tetangga benci Ibu bukan karena tulisannya, tapi karena mereka bisa mendengar pertengkaran kalian. Dinding rumah ini terlalu tipis untuk menyembunyikan segalanya,” lanjutnya, gamblang.

Ayah terdiam. Riuh bisa melihat itu—keretakan kecil di balik wajah kerasnya. Namun tak ada kata maaf. Tak ada penyesalan. Hanya senyap yang menggantung, bersama bau kopi basi dan debu dari kenangan yang tak pernah dibersihkan.

“Jika kau memang bangga dengan sampah-sampah itu, jangan tunjukkan rasa banggamu di hadapan Ayah.” Kalimat Ayah bersifat mutlak. Tak ingin dibantah. Setelahnya, dia pergi tanpa memberi sedikit pun jawaban—atau setidaknya membereskan kekacauan.

“Ibu tak pernah minta dimengerti,” bisik Riuh, hampir tak terdengar. “Dia hanya ingin suaranya tak dibungkam. Lewat tulisan … dia menyelamatkan dirinya sendiri.” Karena Riuh menyadari, tulisan Ibu merupakan bagian dari struktur raganya.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Riuh merasa benar-benar memahami ibunya. Dalam setiap kalimat yang dulu dianggap ‘aib’, ternyata tersimpan kekuatan seorang perempuan yang berusaha bicara, meski tak ada yang sudi mendengar.

Dia memasuki fase di mana tak ada lagi ruang untuk menghargai atau memercayai Ayah. Tidak dengan kemarahan, tetapi dengan jarak. Riuh tak akan melawan secara frontal— dia memilih mengalah, bahkan menghindar. Menjauh bukan karena takut, melainkan karena sadar: beberapa luka tak bisa disembuhkan dengan konfrontasi, hanya dengan keberanian untuk tidak mewariskannya.

Sementara itu, karya-karya Ibu akan Riuh jaga, meski Ayah tetap tak suka.

Riuh teringat sesuatu. Dia mengeluarkan sehelai kertas lecek dari saku celana. Puisi terakhir Ibu. Kertas yang semalam dia temukan saat membereskan sisa-sisa kenangan dalam ruangan tak bertuan. Tidak panjang, tidak pula rumit. Tetapi justru bait-bait sederhana itulah yang mengubah cara pandangnya tentang perempuan yang selama ini hanya dikenalnya sebagai “Ibu.”

Puisi itu adalah kompas. Dan kompas itu mengarahkan langkah Riuh ke tempat yang selama ini dianggap tabu—tempat yang Ayah benci setengah mati. Tempat di mana orang- orang bebas bicara, bebas mengumpat, bahkan berani membongkar kebaikan palsu dari wajah- wajah malaikat yang seolah tak bercela. Semakin jauh dia menelusuri wilayah tersembunyi, semakin mengerti pula bahwa Ibu pernah tenggelam di samudra penderitaan.

Halaman demi halaman dibuka. Kalimat demi kalimat dijelajahi. Di balik setiap metafora dan alegori, Riuh menemukan titik-titik koordinat menuju masa lalu Ibu yang begitu gelap dan dalam. Semakin jauh ia membaca, semakin erat rasa bersalaha mencekiknya.

Dari satu langkah kecil ini, Riuh membuat janji. Pada dirinya sendiri.

Pada Ibu.

Dan pada lembar-lembar kertas yang hampir dibakar waktu.

Ia akan memastikan bahwa suara-suara Ibu akan hidup. Ia akan membuat dunia mendengar, meski lewat cara yang tak lagi didikte oleh penerbit-penerbit yang dulu menolaknya. Karena kebenaran tak butuh izin untuk bersuara.

Karena judul puisi terakhir itu adalah: “Riuh.”

Baris pertama tampak samar karena noda air, tetapi masih bisa dibaca: “Jadilah berisik seperti namamu.”

Riuh menutup kertas itu perlahan, seolah tengah membungkus amanah. Lalu, dengan langkah yang baru, ia berjalan—menuju dunia yang mungkin akan menolaknya juga. Namun kali ini, ia tak akan diam.

***

Bumi masih berputar. Rasa benci telah sepenuhnya pudar. Riuh menjalani aktivitas seperti biasa, bedanya saat waktu luang dia gunakan untuk mengarungi dunia imajinasi yang Ibu cipta.

“Ayah, jangan salahkan Ibu. Tanyalah dirimu sendiri, mengapa menoreh luka sepilu itu padanya?” Andai dia bisa berdiskusi dengan Ayah, Ibu tak bermaksud mengumbar aib. Ibu hanya ingin mencurahkan isi dalam hati.

Ibu adalah perempuan yang tidak menunduk. Tatkala dunia membungkam, ketika jeritannya tak digubris, dan kebenaran tak lagi ditegakkan, dia menggenggam pena seperti menggenggam harapan. Senjatanya bukan pistol, apalagi senapan. Hanya sebatang pena, selembar kertas, dan keberanian untuk bersuara saat tak ada ruang untuk bicara. Ibu ciptakan ruang itu sendiri. Tak pandang bulu. Entah dari mana lukanya berasal, apa pun bentuknya, Ibu catat secara eksplisit.

Entah siapa yang melukai, entah seberapa dalam, Ibu menuliskannya dengan terang. Fiksi, katanya. Tetapi bagi Riuh, ia tahu: sebagian dari cerita-cerita itu tak pernah sepenuhnya rekaan. Ibu tak sekadar mengarang; ia menyimpan dan menyampaikan. Ia menyelamatkan hal- hal yang terlalu menyakitkan untuk dikatakan dengan mulut.

Melalui tarian pena di atas kertas, Ibu menuangkan luka demi luka yang tak mampu disembuhkan bahkan oleh dokter ternama. Luka-luka yang tak terlihat, namun mengalir di balik kulit, menyelinap ke sumsum, menjalar ke ingatan.

Bayangkan, saat kau kehilangan pahlawanmu sendiri, satu-satunya tempat bersandar, sosok yang dulu memelukmu bahkan sebelum kau lahir—dan kepergiannya tak diiringi pelukan perpisahan. Luka itu bukan hanya ada; dia tumbuh, membelah, dan bercabang menjadi luka-luka yang baru.

Separuh jiwa Ibu adalah menulis.

Dan kini, Riuh mulai mengerti alasan mengapa Ayah begitu membenci tulisan tersebut. Ibu tak pernah menghapus masa lalu—terutama yang datang dari pria tua yang kini duduk dalam rumah yang sama. Ayah adalah bagian dari cerita itu, dan Ibu menulisnya. Bukan untuk membalas, tetapi untuk mengingat.

Sudah Riuh siapkan, sebuah kotak dan laci khusus di lemarinya, tempat ia akan mengamankan seluruh tulisan Ibu. Ia menyimpannya seperti harta karun yang tak ternilai. Riuh ingin menebus kesalahan, karena pernah menjadi dari pembenci karya Ibu. Namun di tengah niat itu, kecemasan datang menyelinap.

“Sial! Di mana puisi terakhir Ibu?!”

Ia mengacak tumpukan naskah. Napasnya tercekat. Tangan-tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman. Tak ada. Puisi terakhir itu—puisi yang mengubah cara pandangnya—menghilang. Pikirannya kalut. Matanya membelalak, seperti baru tersadar dari mimpi buruk.

Dan tepat ketika panik mulai menyelimuti, menguasainya, suara pintu berderit memecah keheningan. Langkah kaki menggema dari luar kamar. Riuh menoleh, dan sosok

Ayah terbesit dalam pikirannya. Pertanyaan kecil berdesir dalam benaknya, nyaris seperti bisikan: apakah pria tua itu sudah makan? Bukan peduli, itu benar-benar muncul di luar kendali. Bagai angin malam yang meniup helai-helai rambutnya tanpa permisi.

Setelah kepergian Ibu, tumbuh pula satu rasa yang tak pernah diduga: rasa ingin tahu.

Bukan cinta, bukan simpati, hanya … dorongan untuk memahami figur sang ayah.

Hubungan mereka, Riuh dan Ayah, kini seperti dua kutub yang diam membeku. Tinggal di bawah satu atap, namun seolah dipisahkan tembok tak kasat mata yang sama-sama mereka bangun. Seperti perang dingin. Hanya jeda. Hanya gencatan senjata. Belum ada pernyataan damai yang resmi disepakati. Dan masing-masing, belum siap untuk menyerah.

Harusnya Riuh tak acuh. Harusnya dia tetap duduk, melanjutkan niatnya merapikan karya-karya Ibu. Tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mengambil alih kendali—sesuatu yang tak bisa didefinisikan, dan celakanya, Riuh pun tak berniat melawan

Tanpa sadar, langkahnya telah membawanya ke hadapan pintu kamar Ayah. Ragu? Pasti.

Takut? Tak salah lagi.

Hanya sebuah pintu kayu biasa yang menua karena dijilati waktu, namun di mata Riuh, pintu itu tampak seperti jeruji besi mencekam—penghalang antara dua dunia yang tak pernah berdamai. Dunia masa lalu, dan dunia yang ingin dia tinggalkan.

Sepertinya, baru kali ini Ayah lupa mengunci pintu. Atau sengaja tidak mengunci?

Tiga ketukan lirih ia lontarkan, tak benar-benar berharap balasan. Lalu perlahan, Riuh dorong pintu itu. Engsel berderit pelan, seperti suara bisikan yang sudah lama dikubur. Samar, namun terasa. Aroma lavender menyeruak tipis, nyaris tak terdeteksi, namun cukup untuk mengusik indra penciuman. Ada sesuatu yang ganjil tentang bau itu—tak cocok dengan sosok Ayah yang dikenal keras, kaku, dan dingin.

Riuh memindai ruangan dengan pandangan terjaga. Meja kecil di samping tempat tidur Ayah menarik perhatiannya. Di atasnya berdiri sebuah gelas kaca. Kosong, hampir sepenuhnya. Hanya tersisa beberapa tetes cairan cokelat yang familiar.

Tangan Riuh terulur, ragu. Permukaan gelas menyambutnya dengan suhu dingin, seolah telah lama ditinggalkan. Ia mendekatkannya ke hidung, mencoba mengenali sisa-sisa aroma kopi di dalam sana. Namun bukan kopi yang menusuk lorong hidungnya, melainkan perasaan asing yang menggerogoti dadanya.

Sesuatu yang pelan-pelan membelah kepercayaan Riuh.

Sesuatu yang membuat pondasi yang coba ia bangun mulai … retak. Ini … susu jahe. Minuman favorit Ibu.

Aroma itu menyusup perlahan, mengetuk sudut-sudut ingatan yang selama ini terkunci rapat di dalam sanubarinya. Potongan-potongan memori kecil—yang dulu ia biarkan mengendap—kini mengambang, satu per satu, seolah dipanggil oleh kehadiran aroma itu.

Lalu, seperti ujung benang yang menemukan lubang jarum, ingatan itu terhubung pada satu cerita pendek: “Keluarga Bayangan.” Cerita pertama yang pernah Ibu tulis. Cerita yang— kini ia sadari—ternyata lebih nyata dari yang ia kira.

Pandangan Riuh jatuh ke meja kecil tersebut. Beberapa helai kertas terselip di bawah gelas. Ia raih dengan hati-hati, nyaris tak bernapas.

Di sana. Puisi yang ia cari.

Beserta salinan cerita pendek itu.

Kedua tangan Riuh bergetar, tak kuasa menggenggam kertas yang amat ringan. Dadanya seolah memikul langit yang hendak runtuh. Kakinya lemas, napasnya berat, dan pertahanannya—yang selama ini dibangun dari diam dan dendam—runtuh tanpa perlawanan.

Udara dingin menyelinap pelan melalui celah jendela yang sedikit menganga. Bukan menggigilkan—melainkan menyelimuti. Lembut sekali, seperti direngkuh oleh selimut yang diterpa angin sore. Seolah berempati kepadanya. Seperti pelukan sejuk dari seseorang yang tak lagi bisa disentuh, tetapi tetap terasa.

Tak ada amarah. Tak ada sumpah serapah. Hanya diam … dan air mata. Di luar sana, langit ikut bicara. Awan menggantung kelabu.

Tetes-tetes air mulai mengetuk atap rumah dengan irama tak tentu, dengan tempo yang abstrak namun mempunyai simpulan. Mula-mula lembut, kemudian kian deras, kian keras. Mengalun seirama dengan melelehnya air mata Riuh yang jatuh tanpa suara.

Malam itu, ricuhnya hujan datang tanpa diminta, menawarkan pelukan untuk meredam tangis yang memalukan. Namun juga menjadi saksi … atas runtuhnya ego seseorang.

“Ibu, maaf. Puisi terakhirmu basah oleh air mataku,” bisiknya.

Giska Rizky Khoirunisa, akrab disapa Giska dan dikenal dengan nama pena Gisha Rizky, lahir pada 25 November 2009 di Batang. Ia gemar menulis novel dan cerpen, juga senang membaca. Kini, Giska duduk di kelas sebelas SMK dengan konsentrasi Pemrograman Komputer.

Post Views: 3
Share. Facebook Telegram WhatsApp

Related Posts

Layar Kecil, Langkah Panjang

Oktober 13, 2025

Lantunan Subuh di Sawah Tua

Oktober 10, 2025

Seribu Langkah Bersama

Oktober 3, 2025
Leave A Reply Cancel Reply

Top Posts

Andi Kusuma Brata : Bisnis Itu Tidak Hanya Mengejar Dunia, Tapi Juga Akhirat

September 27, 2024

Tawuran No, Tapak Suci Yess

Februari 2, 2024

Tema “Smart Bonja, Implementasi Sistem Penilaian Kinerja Guru dan Tenaga Kependidikan Antarkan Butuk Kemisih Sebagai Juara 1 Kepala Sekolah Dedikatif

Januari 13, 2025

Mengungkap dan Memahami Ucapan Taqabbalallahu Minna Wa Minkum

Maret 29, 2025
Don't Miss
Cerpen

Jerit Tanpa Suara

By Redaksi

Cerpen : Giska Rizky Khoirunisa Ibu dikenal banyak orang—dikenal sebagai penulis yang gagal. Begitu kata…

Lazismu Pageruyung Salurkan Zakat Produktif untuk 11 Pelaku UMKM: Dari Mustahik Menuju Muzakki”

Oktober 14, 2025

Zakat Produktif Muhammadiyah Tlangu: Dari Lima Kandang Ayam, Lahir Semangat Kemandirian Umat

Oktober 14, 2025

Bayar PBB Kini Bisa Lewat Gawai, Pemkab Kendal Gandeng Bank Mandiri Wujudkan Layanan Pajak Digital

Oktober 14, 2025

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

logodark240

Organisasi Otonom

  • Pemuda Muhammadiyah
  • Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM)
  • Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
  • Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
  • Seni Beladiri Tapak Suci
  • Kepanduan Hizbul Wathan

Amal Usaha

  • Mina Sari Mart
  • Rumah Sakit Islam (RSI) Kendal
  • Rumah Sakit Darul Istiqomah (RSDI)
  • Universitas Muhammadiyah Kendal Batang (UMKABA)

Lembaga

  • Lambaga Amal, Zakat, Infaq & Shodaqqoh (LAZISMU)
  • Lembaga Pengembangan Cabang & Ranting
  • Lembaga Penanggulangan Bencana
  • Lembaga Pembina & Pengawas Keuangan
  • Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik
  • Lembaga Seni Budaya & Olahraga
  • Lembaga Hubungan & Kerjasama Internasional
  • Lembaga Dakwah Khusus
  • Majelis Pendidikan Dasar & Menengah
  • Majelis Pendidikan Dasar & Menengah

Majelis

  • Majelis Pustaka & Informasi (MPI)
  • Majelis Tarjih & Tajdid
  • Majelis Tabligh
  • Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian & Pengembangan
  • Majelis Pendidikan Dasar & Menengah
  • Majelis Pendidikan Kader
  • Majelis Pembinaan Kesehatan Umum
  • Majelis Pelayanan Sosial
  • Majelis Wakaf & Kehartabendaan
  • Majelis Pemberdayaan Masyarakat
  • Majelis Hukum & Hak Asasi Manusia

Hak Cipta @ Majelis Pustaka & Informasi PDM Kendal

Menu
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak