YOGYAKARTA. KENDALMU.OR.ID. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, menegaskan bahwa Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan keniscayaan strategis bagi umat Islam di tengah derasnya arus globalisasi.
Hal tersebut ia sampaikan dalam pidato kunci saat peluncuran KHGT yang digelar di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Rabu (25/06).
“Globalisasi itu seperti kereta raksasa. Yang tak siap akan tergilas, tapi yang mampu mengendalikannya akan sampai pada tujuan. KHGT adalah kendaraan peradaban umat untuk menjawab tantangan itu,” tegas Haedarsebagaimana dilansir muhammadiyah.or.id.
Haedar menggarisbawahi bahwa Islam sejak awal telah bersifat kosmopolit, lintas perbatasan, dan rahmatan lil ‘alamin.
Penyebaran Islam dari Jazirah Arab ke Afrika Utara, Eropa, Rusia, Asia Timur hingga Asia Tenggara menjadi bukti bahwa Islam telah “mengglobal” jauh sebelum era digital.
“Ayat ‘Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin’ (QS. Al-Anbiya: 107) menegaskan bahwa misi Islam bersifat universal, dan KHGT adalah salah satu wujud dari rahmat global itu,” katanya.
Dalam dunia yang semakin tanpa sekat, lanjut Haedar, kebutuhan akan sistem penanggalan Hijriah yang seragam dan terintegrasi bukan hanya logis, tetapi mendesak. Perbedaan awal Ramadan, Syawal, atau Zulhijah yang sering terjadi, bahkan selisih hingga dua-tiga hari, telah membingungkan umat dan melemahkan ukhuwah.
Meski mendukung KHGT sebagai sistem global, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada identitas kebangsaan Indonesia, sesuai dengan dokumen resmi Pancasila dan Darul Ahdi Wasyahadah. Namun dalam urusan umat secara global, ia menyebut KHGT sebagai “jihad akbar dan ijtihad besar” demi kemajuan bersama.
“Kita tidak bisa hanya berpijak pada kalender lokal kecuali untuk kebutuhan terbatas. Sistem kalender global adalah jihad peradaban umat,” tegasnya
Haedar juga menyoroti ukhuwah Islamiyah yang menurutnya sering teruji dalam dua isu besar: konflik Palestina dan perbedaan kalender hijriah. Ia menyayangkan bahwa penetapan kalender kerap menjadi ladang perpecahan, padahal Al-Qur’an secara tegas menyerukan untuk bersatu dan berpegang teguh pada tali Allah (QS. Ali Imran: 103).

“Kalender seharusnya menjadi simpul pemersatu, bukan justru pemicu perbedaan,” katanya.
Haedar mengakui bahwa perjuangan Muhammadiyah mewujudkan KHGT tidak mudah. “Jalan ini panjang dan terjal. Bisa 10, 50, atau 100 tahun. Tapi Muhammadiyah akan tetap sabar berjalan di jalur itu,” ujarnya.
Dari sisi ilmiah, Haedar menjelaskan bahwa KHGT dibangun di atas metode hisab astronomi, namun tetap terbuka terhadap pendekatan rukyat. Menurutnya, baik hisab maupun rukyat memiliki legitimasi dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ia juga mengingatkan bahwa metode hanyalah wasilah, bukan tujuan mutlak.
Haedar menekankan pentingnya ijtihad ilmiah sebagai fondasi kemajuan peradaban Islam. Ia merujuk pada konsep falsifikasi dalam ilmu pengetahuan modern, bahwa setiap teori boleh diuji, diperbarui, bahkan dibantah.
“Jika kalender ini dikritik, kami terbuka. Bahkan ijtihad yang keliru pun tetap berpahala. Yang penting, proses ini mendorong kita maju,” katanya.
Haedar menegaskan bahwa KHGT bukanlah milik eksklusif Muhammadiyah. Ia bahkan rela jika nama Muhammadiyah disisihkan, asal umat bisa bersatu dengan satu kalender.
“Hilangkan nama Muhammadiyah kalau perlu. Yang penting kita satu tanggal, satu hari, satu kalender global,” serunya.
Ia juga menyoroti kebutuhan generasi milenial dan Gen Z akan sistem kalender yang pasti, sebagaimana kalender Masehi yang merayakan Natal pada tanggal yang sama di seluruh dunia. “Generasi muda butuh kepastian, dan KHGT menjawab itu,” ujarnya.
Meskipun tantangan besar masih menghadang, Haedar optimistis. Ia percaya bahwa dengan semangat musyawarah, dialog terbuka, dan keberanian berijtihad, umat Islam suatu saat akan bersatu dalam satu kalender yang universal.
“Kalau bukan sekarang, mungkin 25, 50, atau 100 tahun lagi. Tapi jangan terlalu lama, karena generasi muda menanti,” pungkasnya.
Peluncuran KHGT ini menjadi penanda penting bahwa Muhammadiyah tak hanya berkhidmat untuk umat di Indonesia, tetapi juga hadir sebagai pelopor ikhtiar globalisasi Islam yang berbasis ilmu, ukhuwah, dan visi peradaban.
