KENDAL, KENDALMU.OR.ID – Setiap usaha selalu membawa risiko, terutama bagi mereka yang hidup di lapisan paling rentan dari roda ekonomi. Bagi sebagian orang, risiko bisa dihindari. Namun bagi sebagian lainnya, risiko justru menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari—teman setia yang tak bisa dipisahkan dari perjuangan mencari makan.
Menjual bensin eceran di pinggir jalan raya adalah salah satu pekerjaan dengan tingkat bahaya paling nyata. Di sana, penghidupan bertemu langsung dengan ancaman kebakaran, paparan asap, hingga kemungkinan tersambar kendaraan yang melintas cepat di jalur padat.
Namun bagi Faozi (54), warga Kelurahan Langenharjo, Kecamatan Kendal Kota, pilihan ini bukan tentang berani atau tidak, melainkan tentang bertahan.
Setengah tahun terakhir, ia berdiri hampir setiap hari di tepi Jalan Raya Bugangin–Kendal, arah timur. Di tempat kecil dari rangka besi yang ia susun sendiri di atas motor bututnya, botol-botol bensin satu liter berjejer rapi—seolah menjadi saksi kesabaran seorang lelaki yang tak ingin hidupnya berhenti hanya karena usia dan tenaga tak lagi seperti dulu.
“Ini jalan terakhir yang bisa saya pilih,” katanya pelan namun tegas kepada kendalmu.or.id yang saat itu juga membeli bensinnya, Kamis (20/11/2025.
Dulu ia sopir truk lintas Jawa; jalan panjang dan malam-malam lelah tak pernah asing baginya. Ketika tenaganya mulai berkurang, ia berjualan jajanan anak-anak di sekolah.
“Tapi hasilnya terbatas, sering sisa,” kenangnya sambil tetap cekatan mengambil botol dan menuangkan bensin.
Kini ia menjual pertalite seharga Rp12.000 per botol, dengan keuntungan Rp2.000 dari setiap liter.
Ritme kerjanya teratur: mulai pukul 05.00 hingga 08.00, pulang sebentar untuk sarapan, kemudian kembali berdiri di bawah terik matahari hingga jelang siang, dan dilanjutkan lagi usai zuhur sampai menjelang magrib.
“Bersyukur, sehari bisa habis 20 sampai 25 liter. Yang ramai itu jam enam sampai jam delapan, pas orang berangkat sekolah dan kerja,” ujarnya.
Faozi sadar betul: berdiri di pinggir jalan bukan hanya menunggu rezeki datang, tetapi juga berjaga-jaga terhadap bahaya yang bisa muncul dalam sekejap.
Ia tahu betapa sensitifnya bahan bakar yang ia jajakan, bagaimana percikan kecil bisa berubah menjadi bencana. Ia juga tahu bagaimana kendaraan yang melaju kencang hanya butuh sepersekian detik untuk menciptakan tragedi. Namun dalam setiap kewaspadaannya, ada ketulusan yang tak ikut gentar.
“Ini ikhtiar saya mencari nafkah untuk istri dan tiga anak saya,” ujarnya mantap.
Baginya, pekerjaan ini bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bentuk tanggung jawab yang ia pikul tanpa banyak keluhan. Risiko bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi, selama keluarga bisa tetap hidup layak.
Di tengah deru kendaraan yang tak pernah berhenti, Faozi menunjukkan keteguhan yang dibentuk oleh pengalaman hidup panjang.
Ia menjaga lapaknya tetap rapi, memperhatikan lalu lintas di sekelilingnya, dan menyapa pembeli dengan suara rendah namun ramah. Terik matahari, debu jalanan, dan asap yang menusuk—semua menjadi latar sehari-hari yang ia terima tanpa protes.
Baginya, mencari nafkah adalah laku hidup. Sebuah kesungguhan yang dijalani tanpa dramatisasi.
Sebuah jalan sunyi yang tak diisi keluhan, tetapi langkah-demi-langkah keteguhan.
Di balik lapak sederhana itu, ada harapan yang ingin ia jaga tetap menyala: dapur yang tetap mengepul, biaya sekolah yang tetap terpenuhi, dan keluarga kecilnya yang bisa terus melangkah maju.
Dalam diamnya hari-hari Faozi, tersimpan pesan sederhana namun kuat—bahwa keberanian bukan selalu tentang menaklukkan dunia besar, tetapi sering kali tentang bertahan di sebuah sudut kecil, demi orang-orang yang kita cintai. (fur)
