SERANG, KENDALMU.OR.ID – Kisah inspiratif lahir dari seorang kader ‘Aisyiyah, Desty Eka Putri Sari. Dalam Gerakan Subuh Mengaji pada Sabtu (13/9), ia membagikan pengalaman perjuangannya mendirikan Bank Sampah Digital, sebuah terobosan lingkungan dan pemberdayaan perempuan yang kini menjadi gerakan besar di Serang, Banten.
Semua berawal dari keprihatinannya. Pada 2020, sepulang dari Belanda bersama suami, Desty menetap di sebuah kampung di Kabupaten Serang. Ia mendapati gapura kampung yang dipenuhi tumpukan sampah menggunung.
“Kondisinya sangat kotor dan kumuh. Kami bahkan malu mengundang teman ke rumah,” kenangnya sebagaimana dikutip muhammadiyah.or.id
Tidak tinggal diam, Desty meminta izin ketua RT untuk melakukan survei ke 100 rumah warga. Hasilnya, mayoritas warga tidak suka dengan kondisi kampung yang kotor, tetapi merasa tidak punya pilihan selain menumpuk sampah di lahan kosong lalu membakarnya.
Dari situ, ia menawarkan solusi: sampah dijemput langsung dari rumah dengan iuran Rp20 ribu per bulan. Meski awalnya ditolak karena dianggap mahal, ia meyakinkan warga dengan perbandingan sederhana.
“Kalau nabung Rp500 per hari, sebulan sudah cukup untuk retribusi. Padahal pengeluaran untuk rokok bisa ratusan ribu,” ujarnya.
Warga pun akhirnya sepakat. Dari gerakan kecil itu, Desty kemudian dipercaya menjadi sekretaris RT. Kesempatan itu ia gunakan untuk melangkah lebih jauh. Ia mendirikan Bank Sampah Digital, memanfaatkan momentum pandemi COVID-19 ketika banyak keluarga kehilangan pekerjaan. Bank sampah ini bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga sumber penguatan ekonomi keluarga.
Perkembangannya luar biasa. Kini Bank Sampah Digital telah tumbuh menjadi 265 unit di Serang Raya, melibatkan hampir 5.000 nasabah individu dan lebih dari 10.000 partisipan, 98 persen di antaranya perempuan.
Sejak berdiri, lebih dari 715 ton sampah berhasil dialihkan dari TPA, sementara tabungan nasabah terkumpul sekitar Rp800–900 juta. Tabungan itu digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendidikan, kurban, hingga THR.
Sistem pencatatannya pun modern, berbasis aplikasi dan dipromosikan melalui media sosial. Namun Desty tetap menjaga keseimbangan dengan sistem manual karena tidak semua warga akrab dengan teknologi.
Lebih dari itu, gerakan ini juga dilandasi nilai religius: menjaga lingkungan sebagai amanah, sekaligus menghindari tabzir (boros) dan israf (berlebihan).
Dampak sosialnya nyata. Ada program sedekah sampah, lumbung pangan, dan modal usaha bergulir yang membantu ratusan penerima manfaat, mulai dari penjual gorengan hingga keluarga tidak mampu. Ribuan paket sembako, ratusan beasiswa anak yatim, dan puluhan ribu liter air bersih juga telah disalurkan kepada warga terdampak kekeringan.
Gerakan ini turut mendukung agenda Sustainable Development Goals (SDGs), mulai dari penghapusan kelaparan, kesehatan, kesetaraan gender, hingga kota berkelanjutan.
“Pemilahan dari rumah adalah kunci. Kalau hanya mengandalkan TPA, cepat atau lambat akan penuh,” tegas Desty.
Meski tidak mendapat dana dari pemerintah, lembaga ini beroperasi di bawah Yayasan Nurpurnama Mas Sidki dan CV Bank Sampah Indonesia, dengan legalitas Kemenkumham. Dana operasional berasal dari CSR mitra hingga jasa konsultasi.
“Kami bukan profit-oriented, tapi profit tetap dibutuhkan untuk menggerakkan roda lembaga,” jelasnya.
Pada 2023, Bank Sampah Digital meraih penghargaan bank sampah terbaik nasional ke-4. Namun bagi Desty, penghargaan hanyalah bonus.
“Kami hanya ingin bergerak menyelesaikan persoalan sosial dan lingkungan. Semoga ini menjadi jariah,” tutupnya penuh harap.
Kisah Desty menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa lahir dari gerakan lokal yang berawal di kampung. Dari satu titik kecil di Serang, Bank Sampah Digital kini menjelma menjadi cahaya inspirasi, mengajarkan bahwa kepedulian lingkungan bisa beriringan dengan kesejahteraan masyarakat.
