YOGJAKARTA.KENDALMU.OR.ID. Iduladha bukan sekadar perayaan penyembelihan hewan. Lebih dari itu, ia adalah panggilan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mempererat simpul-simpul kemanusiaan.
Hal ini ditekankan oleh Budi Jaya Putra, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja Yogyakarta, Senin (2/6/2025).
Dengan nada lembut namun penuh penekanan, Budi mengajak jemaah untuk tidak melupakan makna hakiki Iduladha sebagai momentum ketakwaan dan kerukunan sosial.
“Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, dan membagikan kasih sayang,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman muhammadiyah.or.id
Menurutnya, Iduladha sejatinya lebih agung daripada Idulfitri.
“Sayangnya, di Indonesia seringkali euforianya kalah karena tradisi mudik dan libur panjang yang melekat pada Idulfitri. Padahal, dalam Iduladha ada zikir, tahmid, takbir, dan tahlil yang menggema lebih lama. Bahkan, Allah melarang puasa di hari raya dan hari-hari tasyrik (11–13 Zulhijah) untuk menunjukkan keistimewaannya,” jelasnya.
Budi menegaskan, ibadah kurban memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Kautsar ayat 2 Allah memerintahkan: “Fashalli li rabbika wanhar” (Dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). “Kurban adalah bentuk nyata dari ketaatan pasca salat,” tuturnya.
Ia menjelaskan, hukum kurban adalah sunnah muakkad—sangat dianjurkan bagi yang mampu, bahkan boleh dilakukan dengan cara berhutang atau melalui arisan kurban selama ada kepastian pembayaran. “Yang penting niatnya lurus dan pelaksanaannya benar,” tambahnya.

Lebih lanjut, Budi mengangkat kembali kisah agung Nabi Ibrahim AS yang diuji dengan perintah menyembelih putranya, Ismail. “Itu bukan soal daging atau darah yang sampai ke langit, melainkan ketakwaan,” katanya mengutip Surah Al-Hajj ayat 37.
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ٣٧
Artinya : “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin”.
Tiga Manfaat Sosial Kurban
Tak hanya ibadah individu, kurban juga punya dimensi sosial yang luas. Budi menguraikan tiga manfaat utama kurban dalam konteks masyarakat, yakni Membangun empati dan solidaritas
Melalui pembagian daging kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga, kurban menjadi simbol kasih sayang dan kepedulian. Mengurangi kesenjangan sosial
Banyak warga yang hanya bisa menikmati daging setahun sekali. Kurban memberi kesempatan yang merata, sekaligus menggerakkan roda ekonomi para peternak dan petani pakan ternak. Mempererat silaturahmi dan gotong royong
Momen penyembelihan dan pembagian daging menciptakan ruang interaksi antarwarga yang hangat dan penuh kebersamaan.
Menjawab Kritik: Kurban Bukan Pembantaian
Menanggapi kritik sebagian kalangan yang menyebut kurban sebagai praktik “pembantaian hewan,” Budi menegaskan bahwa syariat Allah telah mempertimbangkan ekosistem secara adil.
“Sapi, kambing, dan domba tidak pernah punah karena dipelihara dalam syariat. Bandingkan dengan harimau atau gajah yang tidak disyariatkan, justru terancam punah,” tegasnya.
Kurban di Era Modern: Bersih, Transparan, dan Tepat Sasaran
Budi mengajak umat Islam untuk melaksanakan kurban dengan prinsip manajemen sosial yang baik. Ia menekankan pentingnya kebersihan lingkungan pasca-penyembelihan, keterbukaan dalam distribusi daging, serta penyaluran ke wilayah yang benar-benar membutuhkan.
“Inovasi seperti pengalengan daging oleh Lazismu harus terus dikembangkan. Ini memperpanjang manfaat kurban—bisa dikirim ke daerah bencana, daerah rawan pangan, atau untuk atasi stunting,” jelasnya.
Mengakhiri ceramahnya, Budi menyampaikan pesan mendalam: “Ibadah kurban adalah jalan sunyi menuju takwa, dan jembatan kokoh untuk membangun kerukunan. Jangan tunda jika kita mampu. Karena kurban hanya datang setahun sekali—dan ia membawa pahala yang tidak tergantikan.”
Jemaah menyambut ceramah itu dengan antusias. Sebagian mengangguk khidmat, sebagian lagi mencatat poin-poin penting yang disampaikan. Di tengah tantangan zaman, pesan kurban sebagai jalan kepedulian dan ketakwaan kembali digaungkan dengan penuh makna.
