Cerpen Gofur Al Kendali
Di kampungku, nama Haji Marzuki begitu harum, menguar lebih kuat daripada parfum kondangan merek luar negeri yang disemprot lima kali dalam satu tarikan nafas.
Ia bukan ketua RT, bukan pula Lurah, apalagi Bupati. Tapi siapa pun yang tinggal di RT 05 pasti langsung mengangguk mantap kalau mendengar: “Yang ngatur acara Agustusan bukan panitia, tapi Kaji Marzuki.”
Lucunya, ketua panitia Agustusan resmi itu adalah Mas Hamzah, kakak kandungku sendiri. Tapi, jabatan itu cuma tercetak manis di struktur kepanitiaan dan sejumlah surat yang beredar.
Dalam praktiknya, semua yang menyangkut kegiatan—dari lomba balap karung sampai pemilihan MC tirakatan—harus lewat restu satu orang: Kaji Juki, panggilan akrab warga untuk Haji Marzuki.
“Mas Hamzah itu cuma tanda tangan doang, yang mutusin ya Kaji Juki,” begitu celetuk Bu Isah, tetangga sebelah rumah, sambil menjemur kasur yang dari dulu tak pernah benar-benar kering. Kami tertawa, bukan karena lucu, tapi karena itulah kenyataan yang sudah mendarah daging di kampung kami.
Kaji Juki bertubuh gempal, berkumis tebal, bibir tipis, dan punya sorot mata seperti sinar X rumah sakit—tahu siapa yang rajin ronda, siapa yang cuma numpang hidup di group WhatsApp RT. Ia berbicara pelan, tapi kalimatnya bisa menembus ke sumsum warga yang paling malas iuran sekalipun.
“Kalau nggak mau iuran Agustusan, ya pindah aja ke RT sebelah. Jangan semua lomba diikuti, tapi pas iuran pura-pura jadi warga RW lain,” ucapnya pada rapat awal bulan. Suasana mendadak sunyi, hanya terdengar suara kipas angin dan detak jantung warga yang kena sindir.
Mas Hamzah, sang ketua panitia, duduk kikuk di sebelahnya. Setiap mau buka suara, Kaji Juki sudah lebih dulu mengangkat tangan. Itu kode universal: “Biar saya saja yang menjelaskan.” Dan setelah itu, semua yang tadinya sudah diputuskan dalam rapat teknis, akan dibahas ulang—dengan hasil akhir yang biasanya sesuai isi kepala Kaji Juki.
Tahun ini, kami pemuda RT 05 sudah mempersiapkan lomba dengan sangat serius. Ada lomba balap karung, balap bakiak, makan kerupuk, panjat pinang, hingga centek caping—lomba warisan zaman Majapahit yang belum tentu diketahui anak-anak sekarang.
Spanduk sudah dicetak, flyer sudah beredar di WA, bahkan grup ibu-ibu PKK sudah mengoordinasi konsumsi. Semua tampak matang, seperti tempe goreng renyah di warung Bu Cimplung. Tapi, seperti biasa, malam sebelum hari-H, datanglah kejutan: rapat darurat di mushola.
Saya, sebagai seksi lomba balap karung, duduk pas di samping Mas Hamzah. Kaji Juki datang dengan sarung dilipat setengah betis, mukena masih tergantung di belakangnya, dan aroma minyak kayu putih menyertai tiap langkahnya.
“Balap karung? Panjat pinang? Bakiak?” tanyanya sambil menaikkan alis. “Kalau jatuh dan patah tulang, siapa yang mau rawat? Agustusan kok malah urus P3K.”
Dan seperti itu, ketiga lomba itu langsung dicoret, seperti dosa yang dihapus saat Ramadan. Yang tersisa hanya lomba yang “aman” versi beliau: lomba adzan, lomba merangkai bunga, dan lomba mewarnai untuk balita. Lomba-lomba penuh kedamaian, tanpa risiko jatuh apalagi lecet.
Pemuda RT sempat protes pelan-pelan, tapi seperti biasa, semua hanya sampai di kerongkongan. Tak ada yang berani melawan keputusan final dari ketua tidak resmi tapi paling sahih di hati warga.
Namun jangan salah sangka. Haji Marzuki bukan semata diktator kampung yang doyan mengatur. Ia juga dikenal dermawan dan paling dulu keluarin duit kalau iuran butuh dana talangan. Tahun lalu, ia membagi-bagikan bendera merah putih ke warga yang belum punya atau punya tapi warnanya sudah mirip kain pel**. Bahkan, waktu Pak Min mendadak opname, Kaji Juki datang diam-diam membawa amplop dan dua botol madu hutan.
“Jangan biarin tetangga kita sakit sendirian. Kita ini keluarga besar, cuma beda pagar,” katanya waktu itu.
Kadang, saya pikir, mungkin memang kampung butuh orang seperti Kaji Juki. Memang keras, kadang ngeselin, tapi selalu peduli.
Malam tirakatan pun tiba. Mas Hamzah memimpin acara sebagai MC, tapi semua tahu, teks susunan acara yang dibacanya ditulis oleh tangan Kaji Juki. Bahkan posisi duduk warga pun, katanya, sudah dipetakan: ibu-ibu kiri, bapak-bapak kanan, anak-anak depan, pemuda bagian dokumentasi, dan warga yang malas iuran duduk di luar tenda.
Lucunya, saat pembacaan doa, mikrofon sempat mati. Mas Hamzah panik, teknisi kelimpungan, lalu muncullah suara lantang dari belakang: “Gak usah ribet, saya pakai suara asli!”
Itulah Kaji Juki, yang akhirnya memimpin doa dengan suara membahana—mengalahkan volume speaker masjid.
Pagi harinya, warga mulai memasang stiker kecil di depan rumah bertuliskan:
“RT 05: Kampung Damai di Bawah Komando Kaji Juki.”
Dan saya? Saya cuma senyum. Sebab meski Mas Hamzah tercatat sebagai ketua panitia, kami semua tahu siapa yang sebenarnya menggerakkan roda Agustusan tahun ini.
Namanya Haji Marzuki. Kumisnya tebal, suaranya lembut, dan kekuasaannya lebih kuat dari tali panjat pinang.
Kedunggading, Malam 1 Agustus 2025