Oleh Ahmad Abdul Riyanto
Kata takziah (ta‘ziyah) berasal dari bahasa Arab, dari kata dasar ‘azza yang berarti menghibur, menguatkan, atau menyabarkan.
Secara istilah, takziah bermakna menghibur orang yang terkena musibah, memberi semangat agar tabah, serta mendoakan kebaikan bagi yang ditimpa ujian.
Dalam ajaran Islam, takziah bukan sekadar formalitas hadir di rumah duka, melainkan ibadah sosial-spiritual untuk meneguhkan iman, menguatkan hati, dan menumbuhkan kesabaran agar keluarga yang berduka tetap ridha menerima takdir Allah.
Rasulullah SAW dengan tegas menganjurkan umatnya untuk bertakziah. Beliau bersabda:
“Tidaklah seorang mukmin yang bertakziah kepada saudaranya karena musibah, melainkan Allah akan memakaikannya pakaian kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah).
Betapa besar pahala yang dijanjikan. Takziah, yang tampak sederhana, ternyata menyimpan dimensi kemuliaan yang luas: ia mengajarkan empati, menumbuhkan kepedulian, dan menautkan hati dalam ukhuwah.
Di tengah realitas masyarakat kita, takziah bahkan berkembang menjadi gerakan dakwah yang hidup.
Ranting Muhammadiyah, misalnya, menghadirkan Takzizah — sebuah ikhtiar amal usaha sederhana yang membungkus duka dengan pengajian dan doa selama tiga malam berturut-turut di rumah keluarga yang kehilangan.
Tidak ada panggung megah atau spanduk besar, hanya lantunan ayat, nasihat lembut, dan kehadiran jamaah yang menenangkan.
Malam pertama, duka masih terasa berat. Air mata belum berhenti, kenangan masih memenuhi ruang. Namun, suara mubaligh yang pelan tapi tegas mampu mengingatkan bahwa hidup adalah perjalanan pulang menuju Allah.

Malam kedua, suasana lebih teduh. Jamaah hadir bukan sekadar untuk bicara, melainkan untuk menemani. Hadir, duduk, dan berdoa bersama menjadi bahasa cinta yang paling sederhana, tapi paling tulus.
Di malam ketiga, wajah keluarga mulai bisa menebar senyum kecil. Duka memang tidak pergi, tapi rasa kebersamaan menjadikan mereka kuat. Ada doa yang menyelimuti, ada keyakinan bahwa kehilangan pun bisa menjadi jalan mendekat kepada Tuhan.
Takzizah pada akhirnya bukan sekadar tradisi, melainkan dakwah yang menyentuh hati. Islam yang hadir dengan wajah teduh, bukan menggurui. Islam yang datang dengan kasih, bukan jarak. Islam yang menemani di ruang-ruang duka, memberi makna pada setiap kehilangan.
Dari sinilah kita belajar, bahwa dakwah sejati bukan hanya lewat mimbar, tetapi juga lewat langkah kaki yang tulus datang, lewat doa yang lirih dipanjatkan, dan lewat empati yang diwujudkan.
Di era ketika banyak orang sibuk dengan urusannya sendiri, Takzizah terasa seperti pelajaran berharga: bahwa kehilangan bukan urusan pribadi, melainkan urusan kemanusiaan. Empati adalah bagian dari ibadah, dan hadir adalah bagian dari dakwah.
Tiga malam pengajian mungkin terlihat sederhana, tapi di dalamnya terjalin makna kebersamaan, iman yang membumi, dan dakwah yang menghangatkan jiwa.
Karena itu, Amal Usaha Muhammadiyah seperti Takzizah perlu terus dijaga dan diperkuat. Dari hal-hal sederhana seperti inilah ruh dakwah tumbuh—dakwah yang dekat dengan masyarakat, menyentuh hati, dan membuat Islam terasa hidup dalam keseharian.
Semoga ranting-ranting Muhammadiyah tetap menjadi pelopor dakwah yang menenangkan, menyapa, dan menguatkan. Sebab kebaikan yang sederhana, ketika dilakukan dengan ikhlas, bisa menjadi cahaya bagi banyak jiwa.
Ahmad Abdul Riyanto, adalah Sekdes Truko, Kec. Kangkung dan Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf PCM Kangkung
