YOGYAKARTA,KENDALMU.OR.ID. Tidak banyak organisasi di Indonesia yang memiliki jejak sejarah sedalam dan sekuat Muhammadiyah. Bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X, Muhammadiyah bahkan diakui sebagai salah satu dari empat Pilar Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebutan ini bukan tanpa alasan. Di tanah inilah Muhammadiyah lahir, tumbuh, dan memberi pengaruh besar — tidak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga pendidikan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Dilansir laman muhammadiyah.or.id, akar gerakan ini bermula dari tiga titik bersejarah di Yogyakarta, yang dikenal dengan sebutan “Tiga K”: Kauman, Karangkajen, dan Kotagede. Dahulu hanya kampung-kampung sederhana, kini ketiganya menjelma menjadi pusat nilai sejarah, pergerakan dakwah, dan kemajuan yang menembus batas Indonesia hingga ke mancanegara.
Bagaimana mungkin kampung-kampung yang dulunya sunyi ini bisa melahirkan gerakan modernis Islam terbesar di Indonesia? Mari menelusuri jejaknya satu per satu.
Kauman: Pusat Lahirnya Gerakan Pembaruan
Kauman adalah jantung sejarah Muhammadiyah. Di sinilah KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini pada 1912, menggemakan semangat tajdid (pembaruan) yang berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sejak saat itu, pola pikir umat Islam Indonesia berubah — menjadi lebih terbuka, rasional, dan moderat.
Tak hanya menjadi basis ideologis, Kauman juga melahirkan para pemimpin nasional. Dari sini lahir tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ibrahim, Ki Bagus Hadikusumo, hingga KH. Ahmad Azhar Basyir. Di ranah ‘Aisyiyah, muncul nama-nama pejuang perempuan seperti Siti Bariyah dan Prof. Siti Chamamah Soeratno.
Pendidikan, sosial, dan ekonomi pun tumbuh pesat. Kauman mengadopsi sistem sekolah modern seperti model kolonial Belanda, tetapi tetap menjadikan ajaran Islam sebagai inti. Industri batik dan tekstil berkembang, menggerakkan ekonomi warga. Hingga kini, Kauman bukan hanya tempat bersejarah, tetapi simbol lahirnya kesadaran baru umat Islam.
Karangkajen: Sentra Batik dan Dakwah
Bergeser ke selatan Yogyakarta, kita menemukan Karangkajen, kampung yang berarti “tempat kehormatan”. Pada masa jayanya, Karangkajen adalah salah satu pusat produksi batik terbesar di Yogyakarta, bahkan memiliki hubungan erat dengan Keraton. Banyak saudagar batiknya juga menjadi abdi dalem.
Namun, Karangkajen bukan sekadar sentra ekonomi. Ia juga menjadi kampung dakwah. Banyak warganya yang menjadi muballigh, menggerakkan pengajian, dan menyebarkan ajaran Islam ke berbagai daerah. Perpaduan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan dakwah membuat Karangkajen menjadi salah satu fondasi kuat dalam pertumbuhan Muhammadiyah.
Kotagede: Pusat Ekonomi yang Menjadi Basis Kaderisasi
Kotagede dikenal sebagai pusat perdagangan dan industri pribumi sejak lama. Pada awal abad ke-20, para tokoh Muslim di sini membentuk Syarekatul Mubtadi, organisasi keagamaan yang fokus pada pemurnian ajaran Islam. Tahun 1923, organisasi ini resmi bergabung menjadi Cabang Muhammadiyah Kotagede.
Perkembangan Muhammadiyah di Kotagede sangat pesat. Pada 1972, peneliti Jepang Mitsuo Nakamura mencatat ribuan warga Kotagede menjadi anggota Muhammadiyah. Dari sinilah lahir banyak tokoh nasional — dokter, insinyur, pengacara, dosen, dan pemimpin masyarakat — yang mengabdi bagi bangsa.
Hingga kini, Cabang Muhammadiyah Kotagede tetap menjadi salah satu cabang paling aktif di Indonesia, menjaga semangat awal gerakan sambil terus beradaptasi dengan zaman.
Warisan yang Terus Menyala
Dari Kauman, Karangkajen, dan Kotagede, Muhammadiyah memulai perjalanannya — bukan hanya membangun masjid dan sekolah, tetapi membangun peradaban. Jejak sejarah ini adalah pengingat bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat kecil, asal ada visi, kerja keras, dan keyakinan yang teguh.
Yogyakarta mungkin adalah titik awalnya, tetapi kini sinar Muhammadiyah telah menembus batas-batas geografis, menjadi bagian penting dalam peta peradaban Islam dunia.