NGAMPEL.KENDALMU.OR.ID. Mempelajari sejarah Islam bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi sebuah kewajiban untuk memahami asal-usul ajaran yang diyakini serta bagaimana peradaban Islam bertumbuh hingga dampaknya masih terasa hari ini.
Hal itu ditegaskan dalam Kajian Ahad Pagi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel, bertempat di Aula Kecamatan Ngampel, dengan menghadirkan Ustadz M. Supri didampingi Ustadz Musyafak sebagai narasumber.
Menggunakan kitab Sirah Nabawiyah sebagai rujukan utama, Ustadz M. Supri memaparkan dengan runtut dan mendalam tentang silsilah Nabi Muhammad SAW dan keterkaitannya dengan Ka’bah sebagai pusat ibadah umat Islam.
Ia mengawali kajian dengan menjelaskan garis keturunan Nabi Muhammad SAW yang bersambung hingga Nabi Ibrahim AS, menguatkan pemahaman bahwa dakwah Islam merupakan kelanjutan dari risalah tauhid yang dibawa para nabi terdahulu.
“Dari Nabi Muhammad bin Abdullah sampai kepada Nabi Isma’il dan Nabi Ibrahim, seluruhnya adalah silsilah para tokoh yang memiliki peran penting dalam membangun nilai-nilai tauhid dan peradaban manusia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ustadz Supri memfokuskan kajian pada Bani Hasyim, keluarga besar Nabi yang dipercaya mengelola Ka’bah. Ia menceritakan bahwa di masa sebelum kelahiran Rasulullah, Ka’bah dikelola oleh keturunan Bani Abdul Manaf, khususnya oleh Hasyim, yang merupakan kakek buyut Nabi Muhammad SAW.

Hasyim dikenal sebagai sosok yang dermawan dan penuh tanggung jawab. Ia menyediakan makanan dan minuman bagi jamaah haji saat musim haji tiba—sebuah pelayanan yang dikenal dengan istilah Siqayah dan Rifadah.
“Hasyim dijuluki demikian karena menyediakan makanan roti yang dicampur kuah, dan ia juga merupakan saudagar sukses yang berdagang ke wilayah Syam dan Yaman,” ungkap Ustadz Supri.
Dalam penjelasannya, disampaikan bahwa Hasyim wafat saat berdagang ke Palestina. Sebelumnya, ia sempat menikahi Salma binti Amru di Yatsrib (sekarang Madinah) dan meninggalkan seorang anak, Abdul Muthalib, yang kelak menjadi tokoh penting Mekkah. Karena masih kecil saat ayahnya wafat, Abdul Muthalib dibesarkan ibunya hingga kemudian dibawa pamannya, Muthalib, kembali ke Mekkah.
Saat dewasa, Abdul Muthalib menggantikan pamannya sebagai pengelola Ka’bah setelah melalui musyawarah di kalangan suku Quraisy. Dari pernikahannya, ia memiliki sepuluh putra, termasuk Abdullah—ayah Nabi Muhammad—dan sejumlah tokoh lainnya seperti Abu Thalib, Hamzah, dan Abbas.
Dalam bagian yang paling menyentuh, Ustadz Supri membawakan kisah nazar Abdul Muthalib yang bertekad mengorbankan putranya, Abdullah, bila niatnya menggali sumur Zamzam berhasil. Namun melalui undian yang terus diulang—dan setelah diintervensi tokoh agama Quraisy—akhirnya disepakati bahwa 100 ekor unta dikurbankan sebagai gantinya. Ini menjadi tonggak awal pengakuan dan penghormatan masyarakat Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim.
Menutup kajian, Ustadz Musyafak menekankan bahwa mempelajari sejarah Islam bukan hanya untuk mengagumi masa lalu, tetapi untuk membangun kesadaran dan inspirasi menatap masa depan.
“Di dalam Al-Qur’an, sejarah dijadikan pelajaran agar kita mampu menulis sejarah kita sendiri. Diharapkan kelak, generasi kita bisa menorehkan sejarah baru yang membanggakan,” tutupnya.
Kajian yang berlangsung hangat ini bukan hanya memberi wawasan keilmuan, tetapi juga menghidupkan semangat keislaman dan kebanggaan terhadap warisan Nabi Muhammad SAW. Dengan memahami asal-usul dan perjalanan Islam melalui Sirah Nabawiyah, diharapkan jamaah semakin mencintai agama ini dengan kesadaran penuh dan semangat membangun masa depan yang lebih baik. (rio)
Kontributor : Ario Bagus Pamungkas. Editor : Abdul Ghofur
