Oleh : Latifah
BULAN Mei ini menghadirkan dua peristiwa penting yang tanggalnya nyaris bersisian. Pada 16 Mei, Nasyiatul ‘Aisyiyah genap berusia 94 tahun. Sehari berselang, 17 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Buku Nasional—momen yang mengingatkan kita akan pentingnya menumbuhkan budaya membaca dan mencintai ilmu pengetahuan.
Dua peristiwa ini seolah berbicara dalam satu napas. Milad Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Hari Buku Nasional mungkin berasal dari latar sejarah yang berbeda, namun keduanya memancarkan semangat yang sama: membangun peradaban melalui ilmu dan literasi.
Buku adalah simbol pengetahuan. Nasyiatul Aisyiyah adalah pelaku perubahan. Keduanya berpadu, memperlihatkan bahwa literasi dan peran perempuan tidak bisa dipisahkan dari masa depan bangsa.
Sejak didirikan pada 1931, Nasyiatul ‘Aisyiyah—organisasi perempuan muda Muhammadiyah—telah konsisten menyalakan obor pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan perempuan. Di tangan para kader mudanya, literasi tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan membaca dan menulis, melainkan sebagai jalan pengabdian dan perjuangan.
Di banyak daerah, Nasyiah hadir lewat taman-taman baca kecil di sudut kampung, kelas-kelas menulis sederhana, diskusi-diskusi hangat di serambi masjid, hingga konten-konten edukatif yang tersebar di media sosial. Mereka tak sekadar mengajak orang membaca, tetapi juga membangun kesadaran kritis, memupuk empati, dan membentuk karakter masyarakat yang lebih berpikir, lebih peduli.
Di tengah dunia yang semakin riuh oleh disinformasi, budaya instan, dan minimnya ruang dialog sehat, kehadiran perempuan muda sebagai agen literasi menjadi sangat berarti. Nasyiah menunjukkan bahwa literasi bukan milik kaum akademik saja, tetapi menjadi kebutuhan semua: dari remaja putri di pelosok hingga ibu rumah tangga yang ingin dunia anak-anaknya lebih baik.
Maka merayakan Milad Nasyiah dan Hari Buku bukan sekadar mengenang sejarah. Lebih dari itu, ini adalah momen memperkuat komitmen terhadap masa depan. Sebuah masa depan yang tidak dibangun dengan kebisingan, melainkan dengan pemahaman; bukan dengan opini kosong, tetapi dengan ilmu dan ketekunan.
Melalui buku-buku yang dibaca, ditulis, lalu dijadikan gerakan nyata, Nasyiah telah membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari huruf-huruf kecil yang ditanam dengan cinta dan dikerjakan dengan sabar. Mereka tidak menunggu sorotan, tapi terus bergerak di akar rumput—dengan semangat yang tidak gaduh, tapi mengakar. Tidak mencolok, tapi berdampak.
Di miladnya yang ke-94 ini, kita layak memberi penghargaan setinggi-tingginya. Karena lewat Nasyiah, perempuan bukan lagi sekadar objek perubahan, tapi telah menjadi subjek utama yang membaca, memahami, dan membentuk arah baru peradaban.
*) Latifah, S.E; M.M aktifis Nasyiatul Aisyiyah dan Dosen Universitas Muhammadiyah Kendal Batang (Umkaba)
