Oleh Wahidin Hasan
Setiap kali November tiba, umat Islam di Indonesia punya alasan untuk mengenang salah satu tonggak peradaban mereka: lahirnya Muhammadiyah. Bukan sekadar organisasi, melainkan gerakan pembaruan yang lahir dari semangat seorang ulama sederhana bernama KH Ahmad Dahlan, di sebuah gang kecil di Kauman, Yogyakarta. Dari ruang sempit itu, 113 tahun lalu, sebuah ide besar menyala—bahwa Islam tidak cukup diajarkan lewat mimbar, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata: mengajar, menolong, dan memberdayakan.
Kini, setelah melewati lebih dari satu abad, Muhammadiyah tetap berdiri tegak di tengah zaman yang berubah cepat. Tema milad tahun ini, “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”, menjadi penegasan ulang misi awalnya: menjadikan dakwah sebagai jalan membangun kehidupan yang adil dan beradab. Di tengah masyarakat yang resah oleh ketimpangan, mahalnya hidup, dan ketidakpastian ekonomi, seruan ini terdengar seperti napas panjang yang menenangkan.
Akar Gerakan dari Kaum Lemah
Muhammadiyah lahir dari keresahan sosial yang nyata. Ahmad Dahlan, di awal abad ke-20, menyaksikan betapa umat Islam di negerinya tertinggal, miskin, dan tersisih dari arus kemajuan. Ia membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan hati yang gelisah, lalu menemukan tafsir sosial dari Surah Al-Ma’un: bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan fakir miskin adalah pendusta agama.
Dari situlah Muhammadiyah mulai melangkah—menyantuni yatim, mendirikan sekolah bagi pribumi miskin, membuka klinik untuk rakyat kecil. Dakwah, dalam pandangan Dahlan, bukan seruan kosong, tetapi gerak sosial yang membebaskan. Karena itu, sejak mula, Muhammadiyah berpihak pada mereka yang tak punya suara: anak jalanan, buruh, petani, dan kaum marjinal yang hidup dalam keterbatasan.
“Dahlan mengajarkan Islam yang bekerja, bukan Islam yang berdiam diri,” tulis sejarawan Jepang, Nakamura Mitsuo, dalam bukunya The Crescent Arises over the Banyan Tree. Ia menyebut Muhammadiyah sebagai wajah Islam rasional yang berpadu dengan kesalehan sosial.
Membangun dari Amal, Bukan Retorika
Dalam perjalanannya, Muhammadiyah bukan hanya pandai berbicara, tetapi piawai membangun sistem. Di bidang pendidikan, misalnya, gerakan ini kini mengelola lebih dari 5.000 sekolah dan madrasah, serta sekitar 170 perguruan tinggi Muhammadiyah–‘Aisyiyah di seluruh Indonesia. Dalam bidang kesehatan, tercatat lebih dari 400 rumah sakit, klinik, dan balai pengobatan berdiri dengan semangat pelayanan sosial.
Tak berhenti di sana, di ranah sosial Muhammadiyah mengelola ratusan panti asuhan, panti jompo, balai ekonomi umat, dan koperasi. Ribuan lembaga zakat dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) juga menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi di tingkat akar rumput. Semua itu dibangun tanpa banyak gembar-gembor, tetapi dengan kerja panjang dan keikhlasan para kadernya.
Ahmad Najib Burhani, peneliti dari BRIN, menyebut Muhammadiyah sebagai “mesin sosial keagamaan paling efektif di dunia Islam modern”. Menurutnya, keberhasilan Muhammadiyah terletak pada etos amal yang rasional dan sistemik—menyatukan nilai iman dengan tata kelola modern.
Kesejahteraan sebagai Jalan Dakwah
Ketika Muhammadiyah menjadikan kesejahteraan bangsa sebagai tema miladnya, itu bukan langkah baru, melainkan kelanjutan dari napas lama gerakannya. Dalam pandangan Haedar Nashir, kesejahteraan bukan semata tentang ekonomi, tapi tentang keadilan dan martabat manusia. “Bangsa tidak akan sejahtera bila hukum tidak tegak, bila korupsi dianggap lumrah,” ujarnya dalam satu kesempatan.
Kata-kata itu terasa menampar kesadaran publik hari ini. Sebab kesejahteraan yang dicita-citakan tidak mungkin tumbuh dari fondasi yang rapuh. Korupsi, dalam kacamata Muhammadiyah, bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap nilai moral bangsa. Ia mencuri hak rakyat, memiskinkan yang lemah, dan menghancurkan semangat gotong royong.
Maka, dakwah Muhammadiyah tidak berhenti pada khutbah Jumat atau pengajian rutin. Dakwah itu hadir dalam bentuk koperasi yang menolong petani, sekolah gratis untuk anak miskin, dan layanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang agama. Di banyak tempat, rumah sakit Muhammadiyah menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan bagi masyarakat pedesaan. Di situlah makna dakwah sosial menemukan wujudnya.
Menjaga Jarak, Mengawal Nilai
Muhammadiyah punya posisi unik dalam lanskap kebangsaan Indonesia. Ia tidak terlibat dalam perebutan kekuasaan, tapi tetap hadir di jantung moral bangsa. Ketika banyak organisasi berlomba-lomba mendekati kekuasaan, Muhammadiyah memilih jalan tengah: kritis tanpa konfrontatif, dekat tanpa terseret arus politik.
“Negara dan masyarakat sipil harus berjalan seiring,” kata Haedar Nashir. “Negara membuat kebijakan, sementara Muhammadiyah menjaga nilai dan nurani.”
Prinsip itu membuat Muhammadiyah tetap dipercaya publik. Dalam banyak krisis, dari bencana alam hingga pandemi, kader-kader Muhammadiyah hadir lebih dulu di lapangan—membawa bantuan, bukan janji.
Gerakan sosialnya pun kini beradaptasi dengan zaman digital. Banyak komunitas muda Muhammadiyah membangun startup sosial, mengelola platform filantropi, dan mengembangkan dakwah di media daring. Semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) menemukan bentuk baru dalam dunia modern.
Warisan Nilai yang Tak Pernah Padam
Dari masa KH Ahmad Dahlan hingga era Haedar Nashir, ruh Muhammadiyah tidak berubah: menegakkan tauhid, menebar ilmu, dan membela yang lemah.
Organisasi ini pernah menghadapi berbagai tantangan—perbedaan pandangan, pergulatan politik, bahkan tekanan ideologis—namun tetap berdiri karena fondasinya kokoh: keikhlasan dan kerja nyata.
Nilai-nilai itu kini menjadi cermin bagi bangsa yang sedang mencari arah moral. Di tengah budaya instan dan pragmatisme politik, Muhammadiyah mengingatkan bahwa perubahan besar selalu lahir dari kerja sunyi. Dari guru-guru di sekolah pelosok, dari perawat yang berjaga di rumah sakit kecil, dari kader yang menulis proposal beasiswa untuk anak yatim—itulah wajah sejati dakwah mencerahkan.
Seperti pesan KH Ahmad Dahlan yang legendaris:
“Jangan hidup dari Muhammadiyah, tapi hidup-hidupilah Muhammadiyah.”
Pesan sederhana itu menjadi azimat moral yang menjaga gerakan ini tetap bersih, meski usia sudah lebih dari satu abad.
Refleksi Milad ke-113: Islam yang Membumi
Milad ke-113 ini adalah saat terbaik untuk menengok ke belakang sekaligus menatap ke depan. Muhammadiyah telah memberi bukti, bahwa agama tidak harus berjarak dengan kehidupan nyata. Bahwa dakwah bukan hanya urusan surga, tapi juga soal bagaimana rakyat bisa makan layak, sekolah, berobat, dan hidup bermartabat.
Di usia senjanya yang justru semakin matang, Muhammadiyah tetap konsisten menjadi pengingat bahwa kesejahteraan bangsa adalah tanggung jawab bersama—negara, masyarakat, dan umat. Jika keadilan ditegakkan, korupsi diberantas, dan ekonomi dibangun untuk semua, maka cita-cita Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tidak lagi hanya menjadi doa dalam khutbah, melainkan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammadiyah 113 tahun bukan sekadar angka, melainkan perjalanan iman dan akal, kerja dan keikhlasan, yang menjadikan Islam hadir secara nyata—menyejukkan hati, menegakkan keadilan, dan membangun peradaban.
Wahidin Hasan adalah Pemerhati Kebijakan Publik LHKP PWM Jawa Tengah, Wakil Ketua PP Fokal IMM
