WELERI.KENDALMU.OR.ID. Ramadlan adalah bulan pengampunan, penyucian, dan pengembalian fitrah manusia, sehingga pada saat merayakan I’dul Fitri, umat Islam juga merayakan “kemenangan” atas perjuangan menemukan kembali fitrah kemanusiaannya, setelah melalui serangkaian perjuangan melawan hawa nafsu, yang dianggap sebagai causa prima terjerumusnya manusia kepada dunia a fitrawi.
Perjuangan melawan hawa nafsu, menjadi kewajiban setiap manusia, untuk mewujudkan kesalehan yang merupakan salah satu indikasi ketakwaaan kepada Allah SWT. Perjuangan ini, yang digelar sebagai perjuangan minal ‘aidin wal faizin.
“Berpuasa identik dengan berpantang, terutama untuk berniat, mengucap, dan atau melakukan perbuatan yang merupakan “pantangan”. Berpuasa, secara lahiriah, mungkin dapat dipahami sebagai ikhtiar menjaga diri dari segala perkataan dan tingkah laku yang tidak dibenarkan oleh fitrah kemanusiaan, untuk kemudian menjadi manusia yang “benar-benar” manusia, jauh dari belenggu memperturutkan hawa nafsu, atau terjerumus dalam lembah kebinatangan potensial kita,” demikian kata Ustadz Fuadz Zain dalam khutbah Idul Fitri 1446 H, Senin (31/3/2025) di Lapangan Gelora Weleri, Kendal.

Puasa, sebagaimana perspektif di atas, lanjutnya merupakan perbuatan ibadah. Sementara ibadah, adalah konsekuensi kekhalifahan manusia di muka bumi ini.
“Jadi, dengan berpuasa, sesungguhnya manusia telah membuka jalan menjadi insan kamil; konsep kesempurnaan akhlak,” ujarnya.
“Singkatnya, puasa adalah suatu upaya akhlak engineering menuju terbentuknya sebuah kesadaran ketuhanan,” tegas Ustdaz Fuad Zain yang juga Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Menurutnya, berpuasa dapat dijadikan sebagai solusi alternative untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban damai dengan karakter humanis. Tak mustahil, pemaknaan puasa dapat dijadikan sebagai jalan keluar dari beragam problem kemasyarakatan hari ini; ketamakan, non kooperatif, perselisihan akibat misunderstanding dalam skala lokal maupun global, kesemena-menaan, penindasan dan bahkan ketidakadilan. Mungkin kita sepakat, bahwa akar semua permasalahan kemanusiaan hari ini adalah kemiskinan.

“Kemiskinanlah yang menjadi faktor predisposisi timbulnya proses dehumanisasi dan sejumlah kejahatan kemanusiaan lainnya, sebagaimana dipaparkan oleh Thomas Hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).. Tentunya Hobbes tidak begitu saja berseloroh dengan teorinya ini, tetapi pada realitasnya, manusia relative akan lepas dari frame kemanusiaannya ketika bersentuhan dengan masalah “menyambung hidup” akibat kemiskinan,” bebernya di hadapan ribuan jamaah sholat Idul Fitri.
Menjadikan puasa sebagai yang tersebut di atas, kata dia, harus dilakukan dengan pemahaman yang mendalam tentang hakikat puasa itu sendiri. Puasa selanjutnya harus dipahami sebagai upaya membentuk “kesalehan individual” dan “kesalehan sosial”, berdasarkan konsep “kesadaran ketuhanan” yang menjadi tujuan utama puasa, terlepas dari dampak fisiologis-jasmaniah puasa.
“Dengan berpuasa, melalui “pemaknaan essensial” terhadapnya, manusia diharapkan dapat merefleksikan kondisi riil penderitaan kaum miskin dan orang-orang mustadl’afin dalam perjumpaan mereka dengan realitas ke dalam mainstream individual, merasakan penderitaan mereka untuk kemudian mengkonstruksikan sebuah komitmen moral, bahwa sungguh kemiskinan adalah musuh objektif kemanusiaan. Kemiskinan menyebabkan konsentrasi perilaku transendensial manusia menjadi buyar. Karena jangankan berniat untuk bersembahyang, untuk makan saat ini pun seakan tidak mampu lagi dipikirkan,” bebernya lagi.
Dia memahami, puasa memang di antara tujuannya adalah untuk menciptakan manusia yang berkeseimbangan dan utuh. Dalam agama Islam manusia yang utuh dicirikan dengan sejumlah karakteristik, di antaranya memiliki moralitas yang luhur. Dalam hubungan ini Nabi Muhammad sendiri melukiskan inti risalah yang dibawanya sebagai penyempurnaan integritas budi dan moral manusia.
“Budi pekerti luhur dan moral yang sehat tercermin dalam sikap jujur dan ikhlas, suka tolong menolong dan menjauhi pementingan diri sendiri yang berlebihan, cinta kepada sesama dan memiliki rasa persaudaraan dan rasa kesetiakawanan yang tinggi, dan sebaliknya menjauhi manipulasi dan perbuatan-perbuatan korup, kolusi, dan nepotisme,” ujarnya.

Menurutnya lagi, orang beriman setelah berpuasa sebulan lamanya dituntut untuk mewujudkan ini semua dalam perilaku kesehariannya setelah Ramadlan.
“Apabila tidak terwujud, berarti puasanya gagal dan tujuan yang hendak dicapai dari puasa tidak terealisir. Ibadah puasanya sia-sia dan tidak merupakan pengalaman relijius baginya serta tidak membuahkan hasil dalam peningkatan kualitas moral orang bersangkutan,” jelasnya mengutip pesan Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah :
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Artinya : Berapa banyak orang yang berpuasa, akan tetapi tidak memperoleh apapun dari puasanya selain lapar dan berapa banyak orang yang shalat malam, akan tetapi tidak memperoleh apapun dari shalatnya selain daripada letih bangun malam belaka. (HR Ahmad ).
Dia juga mensitir hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi juga menyatakan :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya : Barang siapa tidak menghentikan kebohongan dan manipulasi, maka Allah tidak memandang perlu orang itu meninggalkan makanan dan minumnya.(HR. Al-Bukhari).
“Artinya tidak ada gunanya di sisi Allah orang itu berpuasa apabila ia dalam tingkah lakunya tidak dapat meninggalkan kebohongan dan manipulasi,” ujarnya.
Menurut Ustadz Fuad Zain, ke dua hadit tersebut tampak jelas kaitan antara puasa dan kehidupan konkrit setiap insan muslim. Puasa bukan hanya sekedar perbuatan yang menunjukkan kemampuan pisik yang tercermin dalam kesanggupan untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual selama satu hari.
“Puasa lebih dari itu adalah simbolisasi dari integritas moral yang tercermin dalam kemampuan menepati nilai-nilai budi luhur dan akhlak mulia serta lambang dari kemampuan menegakkan yang ma’ruf dna menolak yang munkar,” ujarnya lagi.

Dalam konteks berbangsa, kata dia, kita tengah berjuang memberantas perilaku dan budaya yang telah merusak tatanan kehidupan kita dan yang sekarang kita rasakan akibatnya. Budaya yang dimaksud adalah populer dengan sebutan korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Suburnya budaya ini berkorelasi dengan keadaan moral suatu masyarakat yang ditandai dengan rendahnya kesadaran hukum, lemahnya sikap disiplin, kurangnya pengertian terhadap kekuasaan sebagai amanah, dan lebih penting lagi minimnya kepercayaan terhadap pengawasan Ilahi atas tingkah laku manusia. Diharapkan dengan belajar dari hikmah puasa Ramadlan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamya berupa disiplin, komitmen moral dan kesadaran akan pengawasan Ilahi kita dapat merestorasi spiritualitas kita dan dengan itu kita dapat keluar dari budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme yang telah membawa kita ke dalam musibah seperti sekarang ini,” terangnya.
Dia juga menyampaikan semua kita mengetahui bahwa tahun 2025 ini masih merupakan tahun yang berat bagi kita dari segi ekonomi.
“Untuk itu marilah kita senantiasa memegangi filosofi puasa, yang mengajarkan perjuangan keras, tekun, dan sabar, serta selalu optimis akan perubahan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa masa senang dan masa susah selalu berganti dan bergilir menimpa manusia,” ajak Ustadz Fuad Zain menhutip firman Allah Surat Ali Imran: 140 :
اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗۗ وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ
Artinya : Jika kamu mendapat malapetaka, maka kaum lainpun mendapat malapetaka yang serupa. Dan hari-ari kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah mengetahui orang-orang yang benar-benar beriman dan menjadikan sebagian dari kamu sebagai saksi. Dan Allah tidak menyukai orang–orang yang berbuat zalim. (3 : 140).
Ustadz Fuad mengingatkan, tahun 2025 ini juga masih diwarnai dengan berbagai persoalan bangsa yang cukup kompleks.
“Tentu bagi kita bangsa Indonesia, khususnya kaum muslimin haruslah disadari bahwa kita jangan sampai terseret kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa,” ujarnya mengutip Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 105 :
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌۙ
Artinya : Dan jangankan kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. ( Ali Imran : 105). (fur)