Cerpen Gofur Al Kendali
MENTARI tidak ragu ingin menampakan diri, meski kabut masih menari-nari diantara pepohonan, dan embun belum sempat menguap dari dedaunan.
Desa kecil, Darupono yang diapit hutan jati mulai riuh oleh suara takbir yang bergema dari masjid tua dan surau-surau kecil, membangunkan ingatan tentang rindu, maaf, dan pulang.
Di beranda rumah kayu yang telah termakan waktu, Pak Salim duduk bersandar sambil memandangi jalan setapak yang mengarah ke arah kota.
Tangannya menggenggam tasbih, bibirnya pelan melafal takbir, tapi matanya… seakan sedang mencari seseorang.
“Lima tahun…” gumamnya. “Idul Fitri selalu sendiri.”
Sudah lima kali takbir Idul Fitri Pak Salim lalui sendirian. Anak kedunya, Syahid Abdullah belum pulang. Ia pergi ke kota setelah bertengkar hebat dengannya. Tentang pilihan hidup, tentang harga diri, dan tentang luka yang tidak selesai oleh waktu.
Pak Salim bukan tidak rindu. Tapi lidahnya terlalu kaku untuk meminta anaknya kembali. Ia lebih sering menyalahkan keadaan daripada menyentuh hatinya sendiri.
Lima tahun rumah Pak Salim tidak pernah benar-benar sepi, tapi juga tidak pernah betul-betul hangat.
Sejak istrinya meninggal, Pak salim hanya tinggal berdua dengan anak keduanya, Syahid Abdullah.
Anak pertama, Nur Said lebih memilih meninggalkan desa Darupono, jauh dari tempat kelahirannya, ingin hidup bersama istrinya, Maimunah untuk membangun rumah tangga tanpa campur tangan ayahnya.
Sejak itu Pak Salim hidup dengan Syahid, dan hampir setiap hari keduanya tidak mampu menampilkan peran untuk menciptakan kehangatan dalam rumah. Keduanya sama-sama keras kepala, hatinya penuh bara, seperti dua batu yang terus saling hantam, keduanya tak pernah benar-benar menyatu berakibat setiap malam takbiran, Pak Salim selalu duduk di tempat yang sama, beranda tua, menunggu Si Syahid pulang. Meski tidak pernah yakin apa yang ditunggu akan benar-benar datang.
Takbir Idul Fitri masih menggema di tengah kesunyian pagi itu. Pak Salim masih duduk mematung, namun bibirnya basah dengan takbir, tahlil dan tahmid. Suaranya lirih tapi mantap, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti meski musim berubah.
Tiba-tiba Pak Salim mendengar derit pelan dari gerbang bambu. Sosok lelaki muda melangkah ragu. Ransel di punggungnya usang, wajahnya letih namun di matanya ada cahaya yang dulu pernah hilang.
“Assalamu’alaikum, Bapak….”
Pak Salim tertegun. Sejenak, waktu seolah membeku. Lalu perlahan, ia bangkit, menatap lekat wajah anak keduanya yang lama hilang.
“Wa’alaikumussalam…” jawab Pak Salim, suaranya nyaris tak terdengar.
“Kau… pulang Nak ?”
Sang anak menunduk. “Saya bukan hanya pulang ke rumah, Yah… saya pulang ke hati yang dulu saya tinggalkan.”
Air mata Pak Salim tumpa, bukan karena sedih, tapi karena beban di dadanya runtuh.
Ia mendekap anaknya. Tak ada kata-kata. Hanya takbir yang terus menggema, seperti menandai kembalinya sesuatu yang lama hilang, cinta yang dimaafkan, dan luka yang dipeluk.
Idul Fitri bukan sekadar tentang pulang secara fisik, tapi pulang secara batin kepada keluarga, kepada Tuhan, dan kepada nurani.
Memaafkan bukan tanda kalah, tapi tanda bahwa hati telah dewasa. Kadang, jarak yang jauh hanya bisa dijembatani oleh keberanian untuk mengakui salah dan keikhlasan untuk memeluk kembali.
Ngampel, 2 Syawwal 1446 H
*) Gofur Al Kendadali adalah pseudonym dari Abdul Ghofur, Pimred Kendalmu.or.id