KENDALMU.OR.ID. Salah satu budaya saat Idul Fitri adalah ucapan Minal Aidin Wal Faizin yang selalu terdengan di mana-mana.
Ungkapan itu muncul dimana-mana, mulai dari ucapan langsung melalui lisan seseorang atau rombongan, kartu ucapan, spanduk, dan media sosial, sehingga ungkapan ini seakan menjadi bagian tyang ak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri, tetapi tidak semua orang mengetahui asal-usul ucapan Minal Aidin Wal Faizin, makna dan harapan.
Ucapan Minal Aidin Wal Faizin dinilai banyak orang sebagai bentuk salam dan doa, sering kali disertai dengan frasa Mohon Maaf Lahir dan Batin. Namun, sebenarnya dari ucapan Minal Aidin wal Faizin bukanlah memiliki arti “Mohon Maaf Lahir dan Batin”
Dalam buku Kepak Sayap Bahasa: Kata, Makna, dan Ruang Budaya karya Fatmawati Adnan, secara harfiah ungkapan Minal Aidin Wal Faizin berarti termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang.
Terungkap pada masa Khulafaur Rasyidin, ucapan Minal Aidin Wal Faizin digunakan sebagai bentuk kebanggaan atas kemenangan dalam perang, seperti Perang Badar.
Kemungkinan besar, ungkapan minal aidin wal faizin menjadi populer dalam perayaan Idul Fitri karena bulan Ramadhan dianggap sebagai medan perjuangan dalam meraih rahmat dan ampunan Allah.
Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah dan menahan hawa nafsu, umat Islam berharap dapat kembali sebagai pemenang dalam perjuangan spiritual mereka.
Sementara itu dalam buku Ensiklopedia Islam yang ditulis Hafidz Muftisany dijelaskan, ucapan minal aidin wal faizin ternyata memiliki akar sejarah yang panjang dan bukan berasal langsung dari ajaran Islam, melainkan dari tradisi kesusastraan Arab.
Dalam kitab Dawawin Asy-Syi’ri Al-‘Arabi ‘ala Marri Al-Ushur Jilid ke-19 Halaman 182, disebutkan bahwa ungkapan minal aidin wal faizin merupakan bagian dari syair yang ditulias oleh Syafiyuddin al Huli pada masa masa Andalusia yang menggambarkan suasana hari raya, khususnya lantunan dendang kaum wanita dalam perayaan Idul Fitri. Dalam salah satu baitnya terdapat kalimat:
جعلنا من العائدين والفائزين
Artinya: “Jadikan kami dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung.”
Di Indonesia, salah satu faktor yang membuat minal aidin wal faizin semakin dikenal luas adalah lagu Hari Lebaran karya Ismail Marzuki.
Berdasarkan informasi dari video unggahan di YouTube Kota Jakarta Pusat, lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh Didih dengan iringan grup musik Prima Seirama, lalu dinyanyikan ulang oleh berbagai musisi seperti Titiek Puspa, Betharia Sonata, Yani Libels, Puput Novel, dan Denny Malik pada era 1980-an.
Dalam liriknya, ungkapan minal aidin wal faizin disandingkan dengan mohon maaf lahir dan batin, yang kemudian semakin mengukuhkan pemahaman masyarakat Indonesia bahwa keduanya memiliki makna yang sama.
Menariknya, versi asli lagu Hari Lebaran sebenarnya menyisipkan kritik sosial mengenai kondisi masyarakat pada zamannya, seperti tradisi mudik dan berbagai keterbatasan yang ada. Namun, seiring berjalannya waktu, bagian kritik sosial ini mulai jarang terdengar dalam aransemen modern.
Sedangkan ucapan minal aidin wal faizin sering digunakan dalam perayaan Idul Fitri, tetapi maknanya yang sebenarnya sering kali kurang dipahami secara mendalam.
Menurut buku Wawasan Al-Quran karya Quraish Shihab, ungkapan ini berasal dari bahasa Arab, di mana al-aidin berarti “orang-orang yang kembali,” sedangkan al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang bermakna “orang-orang yang beruntung.” Kata faiz sendiri berakar dari fauz, yang dalam Al-Quran memiliki makna mendalam tentang keberuntungan.
Dalam Al-Quran, kata fauz dan turunannya muncul sebanyak 29 kali dalam berbagai bentuk, seperti al-fauz (keberuntungan), mafâz (tempat keberuntungan), fâza (beruntung), serta al-faizin yang berarti “orang-orang yang beruntung.” Dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 72-73, kata fauz digunakan dalam konteks orang munafik yang menyesali keputusan mereka tidak ikut dalam peperangan karena tidak memperoleh harta rampasan.
وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَدِّلَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمْ تَكُن بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيْتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya “Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka.’ Sungguh jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang), pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, ‘Aduhai, kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (fauzan ‘azhiman)'” (QS. Al-Nisa’: 72-73).
Dari ayat ini, terlihat bahwa bagi orang munafik, keberuntungan hanya diartikan sebagai keuntungan materi. Namun, dalam ajaran Islam, keberuntungan sejati lebih berkaitan dengan pengampunan Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Hasy ayat 20 berikut ini
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung (al-faizun).”
Sedangkan dalam QS. Ali Imran: 185, Allah berfirman:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
Artinya : “Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (faqad fâz).”
Dari ayat-ayat ini, jelas bahwa makna fauz dalam Islam bukan sekadar keberuntungan duniawi, tetapi lebih kepada keselamatan di akhirat.
Semoga Bermanfaat.