Oleh Gofur Al Kendali
Pagi itu, matahari meneteskan sinarnya di antara padi yang mulai menguning. Desa kecil di kaki bukit mendadak ramai. Anak-anak berlari sambil membawa bendera kecil plastik, sementara pemuda menyiapkan panggung sederhana di balai desa. Hari ini, Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-80.
Karsini duduk di lincak bambu depan rumahnya, menatap kain merah putih yang berkibar di depan rumahnya, seperti tetangga lain yang memasang bendera dwi warna. Tangan Karsini sibuk mengupas jagung, tapi pikirannya melayang jauh.
“Delapan puluh tahun merdeka,” gumamnya lirih. Usianya kini lima puluh delapan tahun. Ia lahir dua dekade setelah proklamasi, tumbuh bersama cerita perjuangan dari bapaknya yang pernah ikut barisan rakyat di masa revolusi.
Bagi Karsini, merdeka bukan sekadar kata besar yang sering ia dengar di radio atau televisi. Merdeka adalah bisa menanam padi tanpa takut dirampas oleh hama, bisa mengirim anak ke sekolah tanpa rasa gentar, bisa mengaji di langgar tanpa larangan.
Karsini, perempuan desa yang ditinggal mati suaminya, Suyatno, kini menanggung hidup dengan sisa peninggalan sederhana: sepetak sawah yang tak seberapa luas, sebuah rumah kayu yang berdiri teduh di tepi pematang, dan seorang anak tunggal laki-laki bernama Teguh Suharso, buah hati sekaligus harapan yang tersisa.
Anaknya, Teguh, kini bekerja di kota. Dulu, Karsini hanya bisa bermimpi menyekolahkan anaknya sampai SMA, apalagi kuliah. Tapi kenyataan melebihi mimpi. Teguh kini bekerja sebagai guru honorer. Meski gajinya tak seberapa, selalu berkata dalam doa: “Inilah buah kemerdekaan.”
Suara pengeras dari musholla membuyarkan lamunan Karsini, mengundang warga untuk segera berkumpul mengikuti upacara bendera. Dengan tenang ia merapikan pakaiannya, menyesuaikan jilbab putih yang menutup kepalanya, lalu melangkah perlahan menyusuri jalan beraspal yang mengelupas dan menuntunnya menuju lapangan desa.
Di lapangan, Karsini berdiri bersama ibu-ibu lain. Ketika bendera merah putih dinaikkan, hatinya bergetar. Air matanya menetes begitu saja. Bukan hanya karena ingat suaminya yang sudah tiada, tapi juga karena ia sadar: Indonesia sudah menua, dan dirinya pun ikut menua bersamanya.
“Apakah anak cucu nanti akan tetap merasakan merdeka yang sesungguhnya?” batinnya bertanya.
Saat lagu kebangsaan menggema, Karsini menatap lurus ke langit. Baginya, kemerdekaan adalah warisan sekaligus titipan. Tugasnya bukan lagi mengangkat senjata, melainkan menjaga sawah, mendidik anak satu-satunya, dan tetap percaya bahwa tanah air ini harus terus dijaga dengan doa, kerja, dan kejujuran.
Selesai upacara, ia tersenyum pada bendera yang masih berkibar gagah. “Dirgahayu, Indonesia. Semoga engkau tetap kuat, seperti kami orang desa yang tak pernah lelah mencintaimu,” bisiknya lirih.
Dan di bawah langit bulan Agustus, perempuan bernama Karsini itu merasa dirinya tak sekadar rakyat kecil. Ia adalah bagian dari sejarah panjang negeri yang dipanggil Indonesia.
Ngampel, 18/8/2025