KANGKUNG, KENDALMU.OR.ID – Musik bukan sekadar hiburan. Dalam pandangan Muhammadiyah, musik memiliki posisi hukum yang bersifat kondisional, tergantung pada isi, niat, dan dampaknya terhadap pendengarnya.
Hal ini disampaikan oleh Ustadz Adi Ismanto dalam kajian tafsir tematik yang membahas tentang seni dan dakwah di salah satu majelis taklim Muhammadiyah Kendal, Ahad (12/10/2025).
Menurut Ustadz Adi, Muhammadiyah memandang bahwa hukum asal musik adalah mubah (boleh). Namun, status hukumnya bisa berubah menjadi haram jika mengandung unsur maksiat atau kerusakan, bahkan bisa bernilai sunnah bila musik digunakan untuk mendorong kebaikan dan dakwah.
“Musik itu netral. Ia bisa menjadi wasilah (perantara) menuju kebaikan, tapi juga bisa menjerumuskan pada keburukan. Semua tergantung isi, niat, dan pengaruhnya,” jelas Ustadz Adi Ismanto.
Pendekatan ini didasarkan pada prinsip maslahat dan kajian Tarjih Muhammadiyah, yang menekankan bahwa setiap hukum bergantung pada ‘illat atau alasan penggunaannya.
Dalam rambu-rambu hukum musik yang dijelaskan Ustadz Adi, setidaknya ada empat kategori:
Pertama, sunnah, jika musik digunakan untuk mendorong nilai keutamaan, seperti dakwah, pendidikan, atau motivasi berbuat baik.
Kedua, mubah, jika musik sekadar menjadi hiburan tanpa dampak negatif.
Ketiga, makruh, jika musik hanya untuk main-main atau hiburan kosong tanpa manfaat yang jelas.
Keempat, haram, jika musik mengandung syair yang tidak senonoh, pornografi, kekerasan, atau mendorong kemaksiatan.
Ustadz Adi kemudian menegaskan bahwa pelarangan musik dalam Islam bukan pada bunyi atau alatnya, melainkan pada pesan dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia.
“Nabi tidak datang untuk mematikan seni, tetapi untuk menyucikannya dari kesesatan. Dulu, pada masa jahiliah, musik dan syair sering dipakai untuk menyesatkan. Namun setelah Islam datang, banyak penyair dan musisi justru menjadi pembela Nabi,” ungkapnya.
Ia juga mengutip kisah dalam Surat Asy-Syu‘ara’, yang menggambarkan bagaimana sihir dan kata-kata dapat digunakan untuk menipu atau menyelamatkan manusia, tergantung niat pelakunya.
Dalam kisah Nabi Musa (Asy-Syu‘ara’: 34–51), Fir‘aun menuduh Nabi Musa sebagai tukang sihir, lalu mengumpulkan para penyihir terbaik Mesir untuk menantangnya. Namun tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular sungguhan memakan semua ular palsu milik penyihir, hingga akhirnya para penyihir beriman.
Demikian pula pada kisah Nabi Saleh (ayat 153–159), ketika kaumnya menolak dakwah dengan menuduhnya terkena sihir, lalu meminta mukjizat. Setelah mukjizat berupa unta betina datang dan mereka tetap mendustakan, Allah menurunkan azab sebagai peringatan.
Dari kisah-kisah itu, Ustadz Adi menarik pelajaran bahwa setiap bentuk ekspresi, termasuk musik, bisa menjadi sarana dakwah atau sebaliknya—sarana kesesatan—tergantung pada arah dan tujuannya.
“Bukan alatnya yang salah, tapi bagaimana ia digunakan. Musik bisa jadi dakwah yang lembut, asal liriknya menuntun pada kebenaran,” pungkasnya.
Dengan demikian, Muhammadiyah menempatkan musik sebagai bagian dari kehidupan yang bisa bernilai ibadah, selama tetap berpijak pada ajaran tauhid dan kemaslahatan umat. (ganang)
Kontributor : Ganang Abdul Shofi