Oleh Abdul Ghofur
Di tanah Kebumen, kuliner bukan sekadar pengisi perut, melainkan cermin kehidupan yang sederhana namun kaya makna. Dari sekian banyak hidangan rakyat, kapal mendoan hadir sebagai sajian yang unik, dengan nama yang sekaligus menyimpan kisah.
Sebutan kapal bukan merujuk pada perahu yang berlayar di laut selatan Kebumen. Kata itu lahir dari singkatan “nasi pake mendoan,” sebuah frasa yang lahir dari keseharian orang kampung. Di warung-warung sederhana, orang hanya perlu menyebut “kapal” untuk sepiring nasi hangat dengan lauk mendoan, ditemani sambal cabai rawit atau sayur berkuah bening.
Sejarahnya tak lepas dari tradisi tempe mendoan yang telah lama menjadi ikon kuliner Banyumasan. Tempe yang diiris tipis, dicelupkan ke adonan tepung berbumbu, lalu digoreng setengah matang hingga lembek (mendo), melahirkan cita rasa khas: gurih, lembut, dan hangat. Dari sini, masyarakat Kebumen meramu kebiasaan makan harian dengan cara yang merakyat: cukup nasi, cukup mendoan, sudah lengkaplah santapan.
Di balik kesederhanaannya, kapal mendoan mengandung filosofi hidup orang Kebumen: nrimo, guyub, lan prasaja. Sepiring kapal mendoan tak hanya memberi rasa kenyang, tapi juga menumbuhkan keakraban. Ia sering hadir dalam obrolan sore di warung kopi, di sela istirahat para petani, hingga di meja makan keluarga kecil di pelosok desa.
Bagi mereka yang pernah merantau, kapal mendoan adalah rasa rindu yang tak terganti. Setiap gigitannya menghadirkan kenangan tentang kampung halaman, tentang angin sawah dan suara riuh pasar tradisional.

Kini, kapal mendoan bukan hanya milik warga Kebumen. Banyak pendatang dan wisatawan yang menjadikannya buah bibir, bahkan cerita oleh-oleh yang dibawa pulang. Dari tempe sederhana, lahirlah identitas kuliner yang membanggakan: kapal mendoan, warisan rasa yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sering kali berlabuh pada hal-hal yang sederhana.
Fakta adanya kios kuliner di Kapal Mendoan Kebumen menunjukkan bahwa kawasan ini memang dirancang sebagai pusat kuliner yang tertata. Para pedagang yang sebelumnya berjualan di sekitar Alun-Alun Pancasila kini resmi menempati kios di bawah pengelolaan Pemerintah Kabupaten Kebumen melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (Disperindag KUKM). Penataan ini memberi ruang lebih layak bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) sekaligus menghadirkan suasana kuliner yang lebih nyaman bagi pengunjung.
Jumlah kios yang tersedia mencapai sekitar 160 unit. Sebagian besar sudah difungsikan oleh para PKL, meski masih ada sejumlah kios yang kosong, terutama di lantai atas. Keberadaan kios-kios ini memang dikhususkan untuk usaha kuliner. Regulasi pun ditegaskan: kios di Kapal Mendoan tidak boleh dialihfungsikan untuk usaha selain kuliner, agar identitasnya sebagai pusat jajanan tetap terjaga.
Pengelolaan kios juga dibuat rapi. Para pedagang diatur dalam dua shift, pagi dan sore, sehingga pengunjung bisa menikmati suasana kuliner hampir sepanjang hari. Setiap pedagang dikenakan retribusi harian dengan nilai yang relatif terjangkau, sekitar Rp3.750 per hari. Skema ini dianggap cukup membantu pedagang sekaligus mendukung pendapatan daerah.
Meski demikian, dinamika di Kapal Mendoan masih menyisakan tantangan. Beberapa kios belum beroperasi sebagaimana mestinya. Bahkan, Dinas terkait sempat menegaskan akan mencabut hak pakai kios jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada aktivitas usaha di dalamnya. Langkah ini ditempuh agar Kapal Mendoan tidak sekadar menjadi bangunan ikon, melainkan benar-benar hidup sebagai pusat kuliner yang ramai dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Abdul Ghofur, Pimred kendalmu.or.id