YOGYAKARTA, KENDALMU.OR.ID — Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM) menggelar Sosialisasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pesantren Muhammadiyah pada Rabu (24/9) di Yogyakarta.
Acara ini menjadi momentum penting bagi Muhammadiyah untuk meneguhkan arah pendidikan pesantren yang modern, berkualitas, dan tetap berpijak pada semangat tajdid.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa kegiatan ini diharapkan melahirkan terobosan nyata dalam peningkatan mutu pesantren Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Ia juga menanggapi kritik sebagian kecil masyarakat yang menuding Muhammadiyah sudah menyimpang dari semangat pendiri, KH Ahmad Dahlan. Haedar menyebut penilaian itu keliru dan terlalu menyederhanakan.
“Banyak yang hanya memahami tajdid sebatas pemurnian. Padahal, dalam kerangka Manhaj Tarjih, tajdid itu juga berarti dinamika, agar ajaran Islam tetap segar dan relevan dengan kebutuhan zaman,” tegas Haedar sebagaimana dikutip laman muhammadiyah.or.id
Dalam kesempatan tersebut, Haedar mengajak peserta merefleksikan kembali makna Surat al-Ma‘un yang kerap dipersempit hanya sebagai teologi pembela kaum lemah. Menurutnya, pesan Al-Ma‘un lebih luas: menyeru orang-orang berdaya untuk peduli, sekaligus membangun masyarakat yang kuat dan mampu menolong sesamanya.
Dengan demikian, misi Al-Ma‘un tidak berhenti pada advokasi kaum mustad‘afin, tetapi juga mendorong lahirnya kemandirian dan daya saing umat.
Haedar juga menyinggung isu biaya pendidikan Muhammadiyah yang kerap dipandang mahal. Ia menegaskan bahwa penilaian itu sangat relatif.
“Bahkan, ada sekolah Muhammadiyah yang biayanya lebih rendah dibanding sekolah negeri, padahal sekolah negeri dibiayai penuh oleh APBN,” ujarnya.
Menurut Haedar, sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah sepenuhnya bergantung pada partisipasi masyarakat. Karena itu, penilaian tentang biaya tidak bisa disederhanakan untuk organisasi sebesar dan sekompleks Muhammadiyah.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa sejak era KH Ahmad Dahlan, pendidikan Muhammadiyah telah berkarakter modern dan holistik, dengan mengintegrasikan iman, ilmu, dan kemajuan. Sistem pendidikan yang dikembangkan tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga memadukan ilmu umum sehingga melahirkan ribuan sekolah, madrasah, hingga boarding school.
Haedar mengingatkan bahwa tujuan pendidikan Muhammadiyah sebagaimana ditegaskan dalam keputusan Muktamar Satu Abad adalah membentuk manusia berakhlak mulia, memiliki kesadaran spiritual dan sosial, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berkeahlian. “Capaiannya adalah lahirnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Reformulasi pendidikan harus menjaga agar kualitas itu terus meningkat,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjadikan dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sebagai rujukan dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Mulai dari Muqaddimah AD Muhammadiyah (1951), Khittah Palembang (1956), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (1969), hingga Risalah Islam Berkemajuan (2022).
“Semua dokumen itu adalah fondasi berpikir yang tidak boleh diabaikan,” tandasnya.
Kegiatan sosialisasi ini diikuti sekitar 140 peserta, terdiri dari unsur LP2 PP Muhammadiyah, perwakilan lembaga dan majelis PP Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Perguruan Tinggi Muhammadiyah–‘Aisyiyah (PTMA), Tim Unit Penjaminan Mutu Pesantren, asesor, serta para mudir pesantren Muhammadiyah dari berbagai daerah, mulai dari DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, hingga Sulawesi Selatan.
Dengan langkah strategis ini, Muhammadiyah meneguhkan kembali peran pesantren sebagai pusat pendidikan Islam berkemajuan, yang tidak hanya melahirkan generasi beriman dan berilmu, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan zaman.