Oleh : Erwin Haryono
KENDALMU.OR.ID. Ini cerita tentang turing motor Jakarta-Dieng, 5-7 Desember 2025. Awalnya sekedar dorongan kuat dari sebuah _midlife crisis_, tepatnya mungkin the second midlife crisis –berarti puber ketiga– buat botuna yang bilangan umurnya mendekati 60.
Dorongan untuk membuktikan _age is just a number,_ sebagaimana turing jarak jauh toh juga cuman number. Silly, huh? It is! Namanya juga puber, dan lalu ada temennya: kumpulan teman lawas masa kuliah. Maka tujuan dirancang: Jakarta-Dieng dengan pitstop di Weleri, rumah seorang teman.

Setelah melewati berbagai fase wacana dan sesi PHP, rombongan akhirnya hanya menyisakan 3 motor. But the show must go on. Gaskeun!
Berangkat pagi, Jakarta-Weleri ditempuh sekitar 12 jam lewat jalur Pantura. Rencana jalan santai berubah jadi agak kencang, kadang- kadang sampai 100 kmh buat menghindari kebosanan menghadapi kendaraan berat. Masuk waktu Isya rombongan sampai di Weleri. Alhamdulillah. Tapi bermula dari sini turing motor mulai berubah jadi sebuah perjalanan spiritual.
Mas Khafid, adek kelas di Undip, Sang Tuan Rumah, adalah penggiat kerja sosial yang serius sejak lama. Darah Muhammadiyah mengalir di tubuhnya. Tentu Republik ini sudah mencatat lama peran organisasi penting yang kerap hadir ketika negara tidak sepenuhnya hadir. Ratusan RS, ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, ribuan panti asuhan, dan entah apa lagi. Kami jadi belajar makna hidup yang bukan sekedar menjalani logika ekonomi tentang untung- rugi atau tentang mencari uang sebanyak-banyaknya.

Malam itu Khafid membawa teman- temannya dari MDMC, Muhammadiyah Disaster Management Center. Kumpulan anak-anak muda yang sudah mewakafkan hidupnya untuk menolong korban bencana. Tentu kita tahu betapa beratnya semua perjuangan di tempat bencana.
Malam itu saya belajar tentang wakaf yang sesungguhnya.
Lebih dari sekedar kerja sosial, mereka cukup profesional setelah melewati berbagai macam pelatihan dan lulus sertifikasi genset, tenda militer, rumah sakit, air bersih, pendampingan psikologis pasca bencana, dan entah apa lagi. Anak-anak kampung di sekitaran Weleri, yang mungkin tidak banyak dikenal, bahkan sudah diakui secara internasional oleh WHO sebagai tim medis darurat berstandar internasional.
Tapi bukan itu yg bikin saya merinding. Ketika panggilan tugas bisa datang kapan saja, karena bencana tidak ada di kalender, mereka semua akan menjawabnya dengan ringan: _’ayo jalan sekarang!’_. Ketika saya tanya bagaimana dengan bekal buat keluarga karena mereka tidak digaji? Doni, anak muda yang sekarang jadi koordinator MDMC Jawa Tengah, enteng saja menjawab: _”niat kulo nulung menungso sing kesusahan, mosok Gusti Alloh mboten nulung anak-bojo kulo? (Niat saya menolong sesama yang sedang kesusahan, masak Allah Swt. tidak menolong anak istri saya?)”

Kalimat ringan itu meluncur begitu saja, tapi lidah saya jadi kelu, dan ulu hati seperti tertonjok sampai bikin mual. Malam itu, seorang botuna yang sekedar pengen membuktikan, entah kepada siapa, kalau dia masih bisa naik motor jauh-jauh, terpukul KO. Selanjutnya adalah perbincangan yang semakin meruntuhkan kebanggaan sebagai orang tua yang pernah merasa sukses berkarir, menyisakan pertanyaan besar kenapa selama ini hanya materialisme yang jadi pegangan hidup?
Pagi-pagi, dengan diantar akamsi MDMC kami bergerak menuju Dieng. Pemandangan begitu memukau, jalan mendaki dan berkelok sungguh sangat bisa dinikmati di atas roda dua. Tapi sejujurnya pikiran saya masih disandera oleh pembicaraan semalam.

Kami menginap di rumah Pak Cipto, Kepala Desa Sumber Kecamatan Batur Dieng. Seperti Khafid, ia juga berdarah Muhammadiyah. Pernah jadi anggota parlemen di daerah dan setelahnya memilih jadi Kepala Desa. Obrolan di Weleri berlanjut, kembali membangunkan kesadaran sosial saya yang sudah lama mati suri.
Ketika hendak pamitan, saya tanya ke Khafid: _”berapa kami harus bayar biaya penginapan, makan dan semua akomodasi di rumah Pak Cip?”_. Dia terdiam, lalu balik bertanya: _”memang Mas Erwin mau menghargai berapa untuk sebuah persahabatan?”_ Saya nggak bisa jawab karena tidak sepenuhnya mengerti pertanyaan Khafid. Ternyata itu cara dia untuk mengatakan bahwa saya sudah diterima sebagai sahabat, termasuk oleh Pak Cipto. Dan dengan demikian pertanyaan saya jadi tidak relevan.
Khafid dan kawan-kawan sudah memporak-porandakan bayangan saya tentang turing naik motor dan juga menampar kesadaran sosial saya. Dan untuk itu saya sangat berterimakasih. Sepanjang perjalanan pulang dari Dieng, pertanyaan retorika itu yang terus terngiang: _”berapa harga sebuah persahabatan?”_
Sampai bertemu di pengalaman turing berikutnya. Semoga.
Salam satu aspal.
*EH*
[Jakarta, 10/12/2025]
Sumber : Postingan Khafid Sirotudin WAG PC-PDPM Kendal
