Cerpen Ghofur Alkendali
Pagi itu, udara desa terasa lebih segar dari biasanya. Aska, anak sederhana berusia 14 tahun, duduk di kelas VIII MTs Muhammadiyah 1 Weleri.
Ia melangkah pelan menuju halaman sekolah. Seragamnya sudah disetrika semalam, tapi masih ada sedikit lipatan yang membuatnya tampak canggung. Tas sekolah berumur setengah tahun terselempang di pundaknya, bergoyang-goyang setiap ia melangkah.
Tapi hari ini terasa lebih istimewa daripada hari-hari biasanya. Hari ini adalah apel Milad ke-113 Muhammadiyah, dan Aska ingin merasakan setiap detiknya.
Di halaman sekolah, bendera Muhammadiyah berkibar anggun di tiang tertinggi. Angin pagi membuatnya menari-nari seperti menyapa semua orang. Aska menatapnya dengan kagum. “Besar sekali perjuangan ini,” gumamnya pelan, sambil membayangkan para pendiri Muhammadiyah di kampungnya, termasuk kakeknya yang dulu memulai semuanya dari nol.
Barisan anak-anak dari berbagai kelas mulai rapat. Beberapa teman Aska saling bercanda, ada yang berbisik-bisik, tapi Aska tetap tenang. Ia menunduk sebentar, menata napas, mencoba menyerap semua energi dari halaman yang luas ini. Ia merasa kecil, tapi di saat yang sama, ikut apel ini membuatnya merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Upacara dimulai dengan bacaan doa. Suara pembawa acara terdengar tegas dan khidmat. Aska menunduk, memejamkan mata, dan membiarkan hatinya terhubung dengan makna yang lebih dalam.
Ia membayangkan para guru, tokoh Muhammadiyah, dan orang-orang baik yang selama ini membimbing banyak generasi. Ia merasa ikut terlibat dalam sejarah yang panjang—113 tahun sejarah, yang bukan sekadar angka, tapi cerita tentang perjuangan, pendidikan, dan amal.

Saat lagu kebangsaan dan Sang Surya dikumandangkan, Aska merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Bukan hanya kebanggaan, tapi juga tekad kecil yang mulai tumbuh: “Aku juga ingin berbuat baik. Aku ingin memberi manfaat.” Ia menatap teman-temannya yang ikut menyanyi, menyadari bahwa meski sederhana, semua orang bisa memberi sumbangsihnya masing-masing.
Puncak acara adalah sambutan kepala madrasah. Ia berbicara tentang tema Milad ke 113 ‘Memajukan Kesejahteraan Bangsa’, sebuah tema yang mengingatkan kita bahwa kemakmuran sejati bukan sekadar tumpukan harta atau angka ekonomi yang membengkak.
“Kesejahteraan yang hakiki juga lahir dari hati yang bersih, jiwa yang teguh, dan masyarakat yang saling peduli. Muhammadiyah menegaskan bahwa setiap warga memiliki peran untuk menyalakan cahaya kebaikan—memperbaiki hidup sesama, menegakkan keadilan, dan menebar manfaat bagi lingkungan sekitar,” tegas Pak Sholeh Kepala Madrasah.
Dengan begitu, lanjutnya, kemajuan bangsa bukan hanya tampak di mata, tetapi juga terasa di hati, lahir dan batin bersatu dalam harmoni.
Aska menyimak dengan seksama. Kata-kata itu seperti menempel di pikirannya, menumbuhkan rasa ingin tahu, semangat, dan tanggung jawab. Ia ingin pulang dan menceritakan kepada ibunya tentang semua yang ia rasakan—tentang bendera, doa, lagu, dan mimpi-mimpi kecil yang perlahan tumbuh di hatinya.
Selesai apel, Aska berjalan pulang pelan-pelan, tidak terburu-buru seperti biasanya. Setiap langkahnya terasa lebih berarti. Ia menatap langit pagi yang cerah, memikirkan masa depan yang sederhana tapi penuh harapan.
Apel Milad ke-113 Muhammadiyah hari itu bukan sekadar kegiatan seremonial. Bagi Aska, itu adalah momen untuk menghayati, belajar, dan mulai memahami bahwa kebaikan kecil pun, bila dilakukan dengan konsisten, akan menjadi bagian dari sesuatu yang besar.
Di rumah, ia duduk di dekat jendela sambil menulis di buku hariannya:
“Hari ini aku merasa menjadi bagian dari sejarah. Aku mungkin kecil, tapi aku bisa berbuat baik. Semoga aku bisa menjadi anak yang bermanfaat, seperti yang diajarkan Muhammadiyah.”
Malam itu, Aska tidur dengan senyum ringan, hati hangat, dan rasa syukur yang tak mudah diucapkan dengan kata-kata.
Ngampel, Akhir 18 Nopember 2025
