Oleh Naufal Abdul Latif
Sebelumnya penulis ingin mengungkapkan kejujuran bahwa penulis sudah cukup lama atau bisa dikatakan sangat lama tidak menuliskan opini pribadi dalam bentuk tulisan, namun tiba-tiba muncul keinginan dalam benak penulis untuk menuliskan opini ini, yang penulis beri judul, apa yang membedakan “kita” dan “mereka” tanpa tanda tanya.
Jadi sebenarnya siapakah kita, dan ada apa dengan meraka, tentu tidak ada apa-apa. Mungkin hanya perbedaan bagaimana cara melihat kehidupan. Bukan sebuah tradisi, atau garis pemisah yang ditarik berdasarkan bahasa, batas geografis, atau warisan sejarah. Sebuah entitas yang kita sebut “kita” dan kelompok di luar yang kita labeli “mereka.”
Namun, bagi beberapa kelompok yang memiliki keyakinan yang mendalam, pembeda yang paling fundamental dan tak terhindarkan terletak pada suatu dimensi yang jauh melampaui materi: aspek ketuhanan yang secara konsisten dipertimbangkan dalam setiap nafas dan tindakan. Inilah yang menjadi narasi utama yang memisahkan “kita” dari yang lain.
Jika inti dari perbedaan tersebut adalah bahwa semua yang kita lakukan selalu mempertimbangkan aspek ketuhanan, maka ini bukan lagi sekadar perbedaan dalam ritual atau tata cara ibadah semata. Ini adalah perbedaan orientasi hidup yang bersifat transendental, yang secara total mengubah cara pandang terhadap eksistensi itu sendiri.
Bagi “kita” yang hidup dalam kesadaran ini, tujuan setiap tindakan di dunia bukanlah semata-mata untuk mencapai kepuasan pribadi, keuntungan materi, atau pujian sosial.
Sebaliknya, setiap gerak-gerik, dari interaksi sederhana hingga keputusan besar, secara intrinsik dipandang sebagai ibadah atau usaha konsisten untuk mencari keridaan Yang Maha Kuasa.
Tindakan tersebut menjadi jembatan menuju kehidupan abadi, dan nilai keberhasilannya diukur bukan dari hasil duniawi yang sementara, melainkan dari kesesuaiannya dengan hukum atau kehendak Ilahi yang diyakini.
Lalu, “mereka” yang tidak menempatkan pertimbangan ketuhanan sebagai poros utama hidup mereka cenderung didorong oleh motivasi yang lebih horizontal dalam bahasa umum disebut sekuler.
Tindakan mereka sering kali didasarkan pada pertimbangan pragmatisme, pencapaian semu, atau berlandaskan pada moralitas sekuler yang diturunkan dari konsensus sosial. Di sini, fokus keberhasilan adalah pada dampak yang terukur dalam kehidupan ini, dalam batas-batas waktu yang fana.
Perbedaan mendasar ini membentuk sumber moralitas kelompok. Bagi “kita,” standar agama tentang apa itu keadilan, kejujuran, dan kebaikan, bersifat absolut, diturunkan dari sumber ilahiah (Al-Qur’an dan Hadits) yang tidak lapuk dimakan waktu atau opini mayoritas. Mereka meyakini bahwa hukum-hukum ini kekal dan abadi, memberikan fondasi yang kokoh bagi peradaban.
Sementara itu, bagi “mereka,” moralitas sering kali dianggap relatif tergantung kepentingan, dapat disesuaikan kebutuhan pemesan yang menguntungkan.
Lebih jauh lagi, cara “kita” memandang waktu dan kepemilikan menjadi berbeda secara fundamental. Dunia ini dipahami sebagai tempat persinggahan sementara, sebuah ladang ujian yang jembatan menuju kehidupan yang abadi.
Oleh karena itu, kekayaan, kekuasaan, dan segala bentuk kepemilikan di dunia dipandang sebagai amanah dari Tuhan, yang semuanya perlu dipertanggungjawabkan. Bukan milik pribadi yang dapat digunakan untuk menuruti semua keinginan.
Dalam ranah pendidikan, “kita” melihat sekolah tidak hanya sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai ruang utama untuk penanaman nilai-nilai keimanan, memastikan bahwa akal dan hati berjalan seiring.
Di sisi lain, pendidikan bagi “mereka” mungkin didominasi oleh fokus pada pengembangan rasionalitas kritis dan kompetensi profesional.
Dalam hukum, “kita” mungkin merasa terikat oleh hukum-hukum agama dan tidak pula melanggar hukum negara. Sedangkan “mereka” Memposisikan hukum sebagai aturan yang dapat disiasati dan mematuhinya agar selamat dari hukuman semata.
Namun, opini tentang perbedaan yang mendasar ini tidak perlu berakhir dengan ketegangan. Tantangan terbesar adalah bagaimana “kita” dapat menjadikan fondasi spiritual tersebut sebagai sumber rahmat universal.
Jika “kita” benar-benar hidup dalam kesadaran Ilahi, maka hal itu harus termanifestasi dalam perilaku etis yang unggul, keadilan, kejujuran, dan belas kasih terhadap semua manusia, termasuk “mereka.”
Naufal Abdul Latif adalah Kader Muhammadiyah, dan Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabuoaten Kendal Periode 2024-2025
