Cerpen Abdul Ghofur AlKendali
Pagi itu, udara Desa Truko terasa sejuk. Di halaman SD IT Muhammadiyah Truko, para siswa berseragam Hizbul Wathan berdiri rapi mengikuti upacara bendera peringatan Hari Pahlawan, 10 November.
Bendera merah putih berkibar dengan khidmat, sementara lantunan Indonesia Raya lembut terdengar dari pengeras suara.
Pak Fajri, Kepala SD IT Muhammadiyah setempat, berdiri di depan barisan memberi amanat.
“Anak-anakku,” ujarnya dengan suara tenang namun tegas,
“Hari Pahlawan bukan sekadar mengenang mereka yang gugur di medan perang. Pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang menebarkan kebaikan, menegakkan keadilan, dan menyalakan cahaya ilmu.”
Farchan, siswa kelas lima SD IT Muhammadiyah Truko, mendengarkan dengan pikiran melayang. Ia sering merasa dirinya bukan siapa-siapa.
Pahlawan, pikirnya, adalah orang besar seperti Jenderal Sudirman atau KH. Ahmad Dahlan — bukan anak desa yang hanya membantu ibunya berjualan bakso sepulang sekolah.
Setelah upacara, kegiatan dilanjutkan dengan kerja bakti membersihkan masjid dan taman baca milik SD setempat.
Farchan ikut bergotong royong, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Saat sedang menyapu rak buku, tangannya menyentuh sebuah buku tua berdebu berjudul “Pahlawan Tanpa Medali”. Di halaman pertama tertera nama: KH. Ahmad Dahlan.
Farchan, anak biasa itu membuka dan membaca beberapa halaman. Ia tertegun ketika menemukan kisah tentang bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengajar anak-anak miskin tanpa mengharap imbalan, berjuang melawan kebodohan dengan ilmu, dan menegakkan nilai Islam dengan penuh kasih sayang.
“Jadi, pahlawan tidak selalu berperang,” gumam Farchan pelan.
“Kadang cukup dengan keberanian untuk berbuat baik dan membantu sesama.”
Sejak hari itu, Farchan mulai mengubah sikapnya. Ia lebih rajin membantu ayahnya menyiapkan pengajian PCM, menolak uang kembalian yang salah dari pembeli, dan menyempatkan diri membantu temannya belajar mengaji.
Suatu malam, ayahnya berkata dengan bangga, “Nak, menjadi warga Muhammadiyah berarti meneruskan semangat para pahlawan. Tidak dengan senjata, tapi dengan ilmu, amal, dan keikhlasan. Pahlawan sejati adalah mereka yang menyalakan lilin di tengah gelap.”
Farchan tersenyum kecil.
Ia menyadari bahwa setiap amal kecil yang dilakukan dengan niat ikhlas adalah bagian dari perjuangan.
Di Hari Pahlawan itu, ia tidak lagi mencari arti kepahlawanan di buku sejarah — karena ia telah menemukannya dalam dirinya sendiri.
Kedunggading 10/11/2025
