NGAMPEL, KENDALMU.OR.ID – Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal hingga kini masih menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam. Ada yang menilainya sebagai bid’ah, ada pula yang memaknainya sebagai bentuk sukacita atas kelahiran Rasulullah.
Polemik inilah yang menjadi tema utama Kajian Ahad Pagi Al-Ikhlas Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel pada Ahad (7/9/2025) di Aula Kecamatan Ngampel bersama Ustadz Sugiyono.
Dalam kajiannya, Ustadz Sugiyono membuka dengan nostalgia budaya Maulid di masa kecilnya.
“Dulu di desa saya ada tradisi metoke. Warga membawa makanan ke balai desa untuk dimakan bersama, kepala desa bahkan membagikan sate. Namun seiring waktu tradisi ini ditinggalkan karena dianggap bid’ah, bahkan kemudian diadopsi umat lain. Semua karena kurang komunikasi di tengah umat,” ungkapnya.
Sebelum membahas sejarah perayaan Maulid, Ustadz Sugiyono mengisahkan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW sejak kelahiran hingga masa mudanya. Beliau lahir pada Tahun Gajah, bertepatan dengan gagalnya pasukan Abraha menghancurkan Ka’bah berkat pertolongan burung Ababil. Sejumlah keajaiban turut mengiringi kelahirannya, mulai dari mimpi ibunya, Siti Aminah, hingga cahaya yang memancar dari rumah Abdullah, ayah beliau.

Perjalanan Nabi penuh suka duka: sejak kecil menjadi yatim piatu, diasuh Halimah as-Sa’diyah, hingga remaja berdagang ke berbagai negeri. Bahkan lamaran pertamanya sempat ditolak sebelum akhirnya menikah dengan Siti Khadijah dengan mahar yang agung.
“Ada yang menuduh Rasulullah terabaikan karena yatim piatu, atau menikahi Khadijah hanya karena harta. Padahal beliau seorang eksportir ulung yang disegani,” tegasnya meluruskan anggapan miring.
Memasuki materi utama, Ustadz Sugiyono menjelaskan sejarah awal perayaan Maulid. Menurutnya, tradisi ini pertama kali dilakukan Dinasti Fatimiyah pada abad ke-4 Hijriyah sebagai legitimasi politik, lalu berkembang pada masa Sultan Al-Mudhaffar di Irbil. Pada era Perang Salib, Sultan Salahuddin Al-Ayyubi menjadikan Maulid sebagai momentum persatuan umat, dengan lahirnya karya monumental Syekh Ja’far al-Barzanji yang hingga kini tetap dibaca di berbagai majelis.
Di Nusantara, perayaan Maulid berkembang menjadi tradisi yang khas di tiap daerah. Di Solo ada Grebeg Maulid dengan sekaten dan gunungan hasil bumi, di Banyuwangi ada endog-endogan, di Kaliwungu Kendal ada tradisi weh-wehan, di Kudus dikenal Ampyang Maulid, sementara di Gorontalo ada tradisi walima.
“Tradisi ini banyak yang indah dan sarat makna, tetapi umat perlu hati-hati agar tidak terjebak pada keyakinan syirik, seperti meyakini makanan Maulid sebagai jimat pembawa berkah,” pesannya.
Ustadz Sugiyono menutup kajian dengan ajakan agar Maulid Nabi dijadikan momentum memperkuat cinta kepada Rasulullah, mempererat silaturahmi, serta menjaga kemurnian akidah.
“Maulid seharusnya menyatukan umat, bukan memecah belah. Dan yang paling penting, jangan sampai perayaan ini dicemari praktik yang menjurus pada kesyirikan,” pungkasnya. (rio)
Kontributor : Ario Bagus Pamungkas, Editor : Abdul Ghofur