NGAMPEL.KENDALMU.OR.ID. Dalam konteks Muhammadiyah, bid’ah dianggap sebagai perubahan atau inovasi yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an atau Hadis, terutama dalam urusan ibadah yang diatur ketat.
Muhammadiyah membedakan antara al-Umur al-Ta’abbudy (urusan ibadah) dan al-Umur ghair al-Ta’abbudy (urusan non ibadah)
Inovasi dalam ibadah dianggap bid’ah yang sesat, sedangkan perubahan dalam urusan non-ibadah dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Demikian kesimpulan ceramah Ustadz Adi Ismanto dalam pengajian Ahad pagi Al Ikhlas Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel, Kendal (13/10/2024).
Dia menjelaskan, Muhammadiyah tidak selalu menolak bid’ah secara mutlak.
“Persyarikatan Muhammadiyah membedakan antara al-Umūr al-Ta’abbudīy yang dianggap tidak boleh diubah, dan al-Umūr ghair al-Ta’abbudīy dan dapat diterima jika tidak bertentangan dengan prinsip syariah,” kata Ustadz Adi di hadapan jama’ah.
Kata dia. Muhammadiyah tidak mengenal istilah “bid’ah hasanah” dalam konteks ibadah, tetapi mengakui inovasi yang bermanfaat dalam aspek sosial dan budaya.
“Bid’ah dalam ibadah dianggap tidak boleh, sedangkan dalam konteks non-ibadah dapat diterima jika tidak bertentangan dengan syariah,” tegasnya.
Di bagian lain, Ustadz Adi juga menegaskan, Muhammadiyah menolak bid’ah dengan alasan fundamental, yaitu bid’ah dalam ibadah merusak kemurnian ajaran Islam, karena ibadah harus mengikuti ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.
“Setiap ibadah yang tidak memiliki dasar sebagai penyimpangan dari prinsip-prinsip agama,” ujarnya.
Ustadz Adi memberikan saran kepada jama’ah supaya hati-hati dalam menggunakan istilah “bid’ah” bertujuan untuk menjaga kesatuan umat dan menghindari konflik di kalangan Muslim, terutama dalam isu khilafiyah.
“Dalam menghadapi masyarakat yang menilai misalnya tahlilan 7 hari setelah kematian adalah keharusan, manakiban, memperingati maulid Nabi dengan cara-cara yang berlebihan kita lebih memilih istilah netral seperti “tidak ada tuntunan untuk itu” daripada langsung menyebutnya bid’ah,” pintanya.
Menurut Ustadz Adi Ismanto yang juga Kepala SMP Sabilu Rosyad, Bojonggede, Ngampel, sikap netral dilakukan untuk mengurangi ketegangan di kalangan umat.
“Menekankan pentingnya menjaga persatuan di antara umat Islam, lebih dari mempertajam perbedaan dalam khilafiyah,” pungkasnya