Oleh : Sriyanta *)
KENDALMU.OR.ID. Menjelang Hari Raya Idul Fitri atau yang akrab disebut Lebaran, suasana di kota-kota besar di Indonesia selalu berubah drastis. Suasana religius mulai menurun, masjid-masjid jumlah jamaahnya berkurang untuk mengikuti rangkaian ibadah, sementara di sisi lain, pusat perbelanjaan atau mal pun penuh sesak oleh masyarakat yang berbelanja kebutuhan Lebaran.
Fenomena ini seolah menggambarkan dua sisi kehidupan masyarakat jelang hari besar keagamaan: spiritualitas dan konsumerisme.
Masjid Pusat Spiritual dan Kesucian
Masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan sepanjang bulan Ramadan, terlebih mendekati Lebaran. Kegiatan seperti itikaf, tadarus Al-Qur’an, dan shalat tarawih tidak semenggema di awal-awal Ramadan, menggambarkan menurunnya semangat umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Suasana khusyuk memenuhi ruang-ruang masjid, terutama pada malam-malam terakhir Ramadan menjadi pilihan orang-orang tertentu. Itikaf menjadi tradisi yang semakin tidak sepopuler zaman dahulu, di mana jamaah menghabiskan malam dengan doa, zikir, dan memperbanyak ibadah.
Mal Pusat Belanja dan Gaya Hidup
Di sisi lain, mal dan pusat perbelanjaan juga tak kalah ramai. Diskon besar-besaran, promo pakaian baru, hingga kebutuhan pangan menjadi daya tarik tersendiri. Tradisi membeli baju baru untuk Lebaran seakan sudah mendarah daging dalam budaya masyarakat Indonesia. Selain itu, aneka kue dan oleh-oleh juga turut diburu sebagai persiapan menyambut sanak saudara yang akan bersilaturahmi.
Kontradiksi atau Keharmonisan ?
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi, ada sisi religius yang begitu kuat, namun di sisi lain ada euforia belanja yang tak kalah meriah.
Namun, sesungguhnya kedua fenomena ini bisa dilihat sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang mencoba memadukan antara kebutuhan spiritual dan sosial. Keduanya berjalan beriringan sebagai bentuk persiapan fisik dan mental dalam menyambut hari kemenangan.
Refleksi dan Kesadaran.
Lebaran tidak sekadar tentang baju baru atau suguhan lezat, tetapi lebih pada kemenangan setelah sebulan berpuasa. Idealnya, masyarakat dapat lebih bijak dalam menyikapi kedua fenomena ini.
Antara mendekatkan diri kepada Allah dan mempersiapkan kebutuhan Lebaran, keseimbangan adalah kuncinya.
Di tengah hingar-bingar persiapan Lebaran, mari tetap menjaga makna hakiki dari Idul Fitri: kembali ke fitrah dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.
*) Sriyanto, S.Pd Adalah Salah Satu Guru di SD Muhammadiyah Weleri dan Anggota Bidang Pengembangan Pusat Data dan Informasi Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PDM Kendal