DI DALAM Islam terdapat dua sholat hari raya dalam satu tahun, yaitu sholat Idulfitri dan Iduladha. Kedua sholat tersebut masuk hukum sunah muakkad (sangat dianjurkan tetapi tidak wajib), bahkan Rasulullah SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id.
Kedua Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya. Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.
Lantas, kapan sholat Id di lapangan diperkenalkan kepada umat Islam Indonesia ? yang akhirnya sampai sekarang sholat Id di lapangan sebagai hal biasa dan tidak perlu dipertentangkan.
Sholat Id di lapangan ternyata sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan memiliki perjalanan historis.
Melansir muhammadiyah.or.id, Ormas Islam, Muhammadiyah merupakan yang pertama kali melaksanakan dan memperkenalkan salat Idul Fitri di tanah lapang.
Pada mulanya, gagasan seperti ini tidak lazim dilakukan. Meski pada awalnya ada pertentangan, tetapi sekarang praktik salat Id di tanah lapang telah diterima sebagai sesuatu yang lumrah.
Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) mencatat pelaksanaan Salat Id di lapangan untuk pertama kali dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan berlokasi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Haedar menulis Kiai Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti Sunnah Nabi Saw dengan Sholat Id di lapangan terbuka.
Pada masa itu umat muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i memang melaksanakan Salat Id di masjid atau dengan kata lain dipimpin oleh imam di dalam masjid karena menganggap keberadaan masjid lebih utama.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berupaya untuk menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitikberatkan pada pemikiran secara kontekstual, dalam segala aspek kehidupan.
Salah satu ibadah yang dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri adalah Salat Id. Uniknya, sebagian besar umat Islam di Indonesia melaksanakan Salat Id di lapangan. Ternyata, pelaksanaannya sudah ada sejak dahulu dan memiliki perjalanan historisnya.
Mengutip dari laman Muhammadiyah.or.id, organisasi Muhammadiyah merupakan yang pertama kali melaksanakan dan memperkenalkan salat Idul Fitri di tanah lapang. ada mulanya, gagasan seperti ini tidak lazim dilakukan. Meski pada awalnya ada pertentangan, praktik salat di tanah lapang telah diterima sebagai sesuatu yang lumrah.
Pertama Kali Salat Id di Lapangan tahun 1926
Sementara itu, Almanak Muhammadiyah 1394 (1974), mencatat bahwa Salat Id di tanah lapang memang dimulai Muhammadiyah pada tahun 1926. Utamanya, dengan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.
St. Nurhayat, dkk dalam Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019) menjelaskan bahwa asal mula keputusan penggunaan tanah lapang sebagai lokasi Sholat Id bermula dari kritikan seorang tamu dari negeri India pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim antara tahun 1923-1933.
Tamu dari negeri India itu memprotes mengapa Muhammadiyah melaksanakan Salat Idulfitri bertempat di dalam Masjid Keraton Yogyakarta. Menurut tamu itu, Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pencerahan) seharusnya melaksanakan Salat Idulfitri dan Iduladha di tanah lapang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Penggunaan Masjid Keraton sebagai tempat Salat Id Muhammadiyah memang tidak terlepas dari bentuk penghormatan Muhammadiyah kepada Sultan Hamengkubuwono VII yang telah mengamini izin dari Kiai Ahmad Dahlan agar Muhammadiyah diperbolehkan berbeda tanggal perayaan hari besar Islam dengan Keraton.
Pasalnya, Muhammadiyah memakai sistem hisab dan Kalender Hijriyah, berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge sehingga terdapat perbedaan tanggal hari besar Islam.
Keputusan Mempopulerkan Sholat Id di Lapangan
Keputusan mempopulerkan Salat Id di lapangan melalui keputusan Muktamar juga disebutkan oleh St. Nurhayat di atas karena pada masa Kiai Ibrahim itu, fokus Muhammadiyah mulai bergeser pada persoalan Takhrij Hadis dan persoalan ubudiyah, terutama pada tahun 1927.
Dari titik inilah kemudian juga terjadi penghimpunan para ulama Muhammadiyah untuk membicarakan berbagai persoalan peribadatan yang kemudian diberi nama sebagai Majelis Tarjih, yang eksistensinya di Muhammadiyah baru nampak pada masa kepemimpinan Kiai Mas Mansur pada tahun 1936-1942.
Atas keputusan Muktamar tahun 1926 itu pun, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia ditengarai mulai rutin menggelar ibadah Sholat Id di tanah lapang pada tahun-tahun berikutnya.
Kepeloporan Muhammadiyah dalam penyelenggaraan Salat Id di tanah lapang, atau lapangan selain untuk mempopulerkan Sunnah Rasul, sekaligus juga praktik ibadah yang solutif terhadap masalah penambahan jumlah umat Islam.
Hal itu disampaikan oleh Pemerhati Sejarah Muhammadiyah dan Dosen Vokasi UGM, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi saat diwawancara oleh reporter muhammadiyah.or.id pada Jumat (5/4) di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Yogyakarta.
Penggerak Muhammadiyah Heritage Yogyakarta ini menjelaskan, kesadaran untuk mempopulerkan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW telah ada sebelum Majelis Tarjih berdiri pada 1927. Salah satu yang dikenalkan oleh Muhammadiyah pada saat itu adalah menyelenggarakan Salat Id di tanah lapang.
Dalam konteks Yogyakarta waktu itu, umat Islam dalam pelaksanaan ibadah termasuk Salat Id diakomodir oleh Sultan di Masjid-masjid Kagungan Ndalem yang berjumlah 44 buah yang tersebar di berbagai titik, bahkan sampai ada yang di wilayah Magelang.
Akan tetapi lambat laun dengan bertambahnya jumlah umat Islam, dan warga Muhammadiyah pada khususnya, serta penggalian sumber teologis yang lebih kuat, Muhammadiyah mengenalkan Salat Id di tanah lapang dan menggunakan Lapangan ASRI sebagai lokasi awal untuk melaksanakan Salat Id itu.
Lapangan ASRI memiliki akronim dari bahasa jawa yaitu adeging shalat riyaya ing islam atau inilah tempat salat hari raya Islam. Prof. Munir Mulkhan di Suara Muhammadiyah mengungkapkan, karena tradisi Salat Id di lapangan belum dikenal oleh umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah mendapat banyak cibiran.
Namun sekarang, pemopuleran sunnah yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini mendapat respon baik dari seluruh umat Islam ditambah lagi dengan jumlah umat yang terus bertambah. Misalnya sebelum Alun-alun Utara dipagar, jemaah Salat Id di sana meluber sampai mendekati Titik Nol KM Jogja.
Salat Id di Lapangan, Fase Baru Ideologisasi Muhammadiyah
Pengenalan sunnah yang sebelumnya tidak dipakai oleh Umat Islam di Indonesia, menjadi titik bagaimana Muhammadiyah melakukan ideologisasi. Lebih-lebih pada 1927 Muhammadiyah membentuk sebuah lembaga fatwa yang mentakhrij hadis dan persoalan-persoalan ubudiyah lainnya.
Ghifari menjelaskan, pada 1920-an menjadi babak baru dalam praktik beragamanya orang Muhammadiyah. Di mana sebelum tahun itu Muhammadiyah lebih banyak menyelenggarakan Amal Usaha (AUM) sebagai ekspresi beragama – yang seolah dianggap mengesampingkan urusan-urusan agama yang rigid.
Berdirinya AUM seperti sekolah, rumah sakit, panti sosial, dan rumah yatim menurut Ghifari merupakan esensi besar dari ajaran Islam, tetapi lahirnya pemikiran-pemikiran fikih melalui Majelis Tarjih juga menjadi bagian baru Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang lebih utuh.
Pelaksanaan Salat Id di tanah lapang yang dilakukan oleh Muhammadiyah selain untuk mempopulerkan Sunnah Rasul, juga bentuk ideologisasi Muhammadiyah, tanpa bermaksud menjadi beda dengan umat Islam yang lain. Sebab pada tahun 1920 an di Indonesia tumbuh subur berbagai ideologi, baik dari kalangan internal Islam maupun dari luar.
Berbagai arus ideologi masa itu mengalir begitu deras, ditunjukkan dengan pecahnya Sarekat Islam (SI) SI “Merah” dengan SI “Putih”, Missie dan Zending yang semakin masfi, hadirnya Ahmadiyah, serta gerakan ideologi lainnya. Tidak hanya itu, dipopulerkannya Salat Id di Lapangan juga sebagai penegasan diri Muhammadiyah sebagai organisasi pemurnian dan pembaharuan.
Di internal Muhammadiyah, pada Kongres ke-15 di Surabaya pada 1926 mulai masuk kalangan fuqaha atau ulama-ulama fikih yang membicarakan masalah-masalah peribadatan ke dalam jajaran pengurus Muhammadiyah salah satunya adalah KH Mas Mansur. Pada kepemimpinan Mas Mansur ini juga Majelis Tarjih mulai menunjukan eksistensinya.